Hiperrealitas – hiperrealitas adalah kondisi dimana yang semu lebih dianggap nyata daripada kenyataan sebenarnya. Hiperrealitas berkaitan erat dengan simulasi, simulacra / simulacrum
Baudrillard lahir pada 27 Juli 1929 di Reims, Perancis. Penjelasan hiperrealitas menurut beliau yakni simulasi berlebih atas sesuatu yang benar-benar tidak pernah ada (Hidayat, 2021: 126).
Teori hiperrealitas adalah sebuah teori yang dikembangkan oleh Jean Baudrillard, seorang filsuf dan sosiolog Prancis, yang menekankan pada peran media dan simulasi dalam menciptakan realitas yang hiperreal atau lebih nyata dari realitas itu sendiri. Menurut Baudrillard, realitas yang kita alami sekarang tidak lagi ditentukan oleh pengalaman langsung atau referensi pada dunia luar, tetapi lebih didasarkan pada gambaran-gambaran yang diperoleh melalui media dan simulasi.
Teori hiperrealitas Baudrillard terutama terkait dengan fenomena seperti konsumerisme, media massa, dan teknologi digital. Menurut Baudrillard, produk-produk konsumen seperti mobil, pakaian, dan gadget, serta acara-acara televisi dan film, telah menciptakan citra-citra yang sangat ideal dan melebih-lebihkan realitas yang sebenarnya. Dalam hal ini, media tidak hanya merefleksikan realitas, tetapi juga menciptakan realitas baru yang lebih nyata daripada realitas itu sendiri.
Baudrillard mengatakan bahwa hiperrealitas tidak hanya menciptakan citra-citra yang melebih-lebihkan realitas, tetapi juga menghapus batas antara realitas dan simulasi. Dalam dunia hiperrealitas, simulasi dan realitas saling bertukar peran dan sulit dibedakan satu sama lain. Hal ini menimbulkan konsekuensi yang signifikan, di mana pemahaman kita tentang realitas dan identitas kita sebagai individu menjadi semakin kabur dan bercampur aduk dengan gambaran-gambaran yang diberikan oleh media dan simulasi.
Baudrillard menganggap bahwa hiperrealitas memiliki konsekuensi yang serius dalam masyarakat modern. Masyarakat yang terus-menerus diberikan gambaran-gambaran hiperreal dapat kehilangan kemampuan untuk membedakan antara realitas dan simulasi, dan dengan demikian, kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan mandiri. Masyarakat yang hidup dalam hiperrealitas juga cenderung menjadi pasif dan apatis, karena mereka merasa puas dengan pengalaman-pengalaman yang hiperreal dan melebih-lebihkan realitas yang sebenarnya.
Dalam beberapa dekade terakhir, teori hiperrealitas Baudrillard telah menjadi semakin relevan di tengah-tengah perkembangan teknologi digital dan media sosial. Terutama dengan adanya teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR), kita semakin terlibat dalam pengalaman hiperreal yang memperkaya kehidupan kita, tetapi juga meningkatkan risiko kita kehilangan kemampuan untuk membedakan realitas dan simulasi.
Dalam melakukan analisis dengan teori hiperrealitas, kita perlu mempertimbangkan bagaimana media dan teknologi digital memengaruhi pemahaman kita tentang realitas dan identitas kita sebagai individu. Kita perlu mempertanyakan apakah pengalaman-pengalaman yang kita alami melalui media dan teknologi digital dapat membantu kita mengembangkan pemikiran kritis dan mandiri, atau justru merusak kemampuan kita untuk membedakan realitas dan simulasi.
Konsep hiperrealitas oleh Jean Baudrillard ini sebenarnya mempunyai landasan konsep lain yang tidak kalah penting serta saling berhubungan satu sama lain. Seperti halnya realitas yang ditandai dengan adanya sebuah tanda yang merefleksikan realitas itu sendiri. Agar lebih jelas dan terstruktur teori mengenai hiperrealitas ini, kita harus memahami tentang Simulasi dan simulacra. berikut Penjelasannya.
Teori Hiperrealitas: Simulasi dan Simulacra (Simulacrum)

Istilah simulasi dan simulacra (simulacrum) mempunyai perbedaan yang sangat tipis. Sejak lama, terutama di era Yunani, konsep mengenai simulasi dan simulacra (simulacrum) sudah muncul. Dua konsep ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Jean Baudrillard terkait dunia hiperrealitas.
Menurut Baudrillard, simulasi dan simulacra adalah bentuk-bentuk representasi yang berbeda dari realitas, dan keduanya memiliki peran penting dalam menciptakan realitas hiperreal yang kita alami saat ini.
Simulasi, menurut Baudrillard, adalah representasi dari realitas yang berusaha untuk meniru atau mereproduksi realitas itu sendiri. Sebagai contoh, film atau video game adalah bentuk simulasi yang mencoba meniru atau mereproduksi situasi atau pengalaman dalam dunia nyata. Namun, menurut Baudrillard, simulasi tidak pernah benar-benar dapat meniru realitas dengan sempurna, dan sering kali menciptakan citra yang melebih-lebihkan atau melebih-lebihkan realitas itu sendiri.
Sementara itu, simulacra adalah bentuk representasi yang tidak memiliki hubungan langsung dengan realitas, tetapi justru menciptakan realitas itu sendiri. Simulacra adalah citra-citra yang diciptakan oleh media dan teknologi, dan menciptakan gambaran-gambaran yang melebih-lebihkan realitas. Sebagai contoh, iklan adalah bentuk simulacra yang menciptakan citra-citra yang sangat ideal dari produk atau layanan, dan seringkali tidak sesuai dengan kenyataan.
Menurut Baudrillard, simulasi dan simulacra tidak hanya merefleksikan realitas, tetapi juga menciptakan realitas baru yang lebih nyata daripada realitas itu sendiri. Dalam masyarakat yang hidup dalam dunia hiperrealitas ini, simulasi dan simulacra saling bertukar peran dan sulit dibedakan satu sama lain. Hal ini dapat menyebabkan kita kehilangan kemampuan untuk membedakan antara realitas dan representasi, dan juga kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan mandiri.
Dalam melakukan analisis dengan konsep simulasi dan simulacra, kita perlu mempertimbangkan bagaimana media dan teknologi menciptakan citra-citra yang melebih-lebihkan realitas, dan bagaimana citra-citra ini mempengaruhi pemahaman kita tentang realitas dan identitas kita sebagai individu. Kita juga perlu mempertimbangkan bagaimana simulasi dan simulacra saling bertukar peran dalam menciptakan realitas hiperreal yang kita alami saat ini, dan bagaimana hal ini memengaruhi cara kita berinteraksi dengan dunia di sekitar kita.
Dalam era pasca modern, prinsip simulasi yang di dalamnya reproduksi (dengan bantuan kecanggihan teknologi) telah menggantikan prinsip produksi. Sementara permainan tanda, kode, citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia.
Segala sesuatu dalam masyarakat simulasi ditentukan oleh relasi tanda, kode dan citra. Sehingga dunia simulasi merupakan dunia yang dibentuk oleh berbagai hubungan tanda dan kode secara acak tanpa acuan yang pasti. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang terbentuk lewat proses tiruan, dan tanda semu (citra) yang tercipta dalam proses tiruan.
Tanda merupakan sesuatu yang mengandung makna yang mempunyai dua unsur yakni penanda (bentuk) dan petanda (makna). Citra yakni sesuatu yang terlihat oleh indra namun sebetulnya tidak mempunyai eksistensi substansial.
Kode yakni cara kombinasi pada tanda yang sudah disepakati secara sosial guna memungkinkan pesan bisa tersampaikan dari satu orang ke orang lainnya, hal ini dijelaskan oleh (Piliang, 1998: 13) dalam (Hidayat, 2021: 109). Dalam ruang lingkup simulasi, bukan realitas nyata yang menjadi cermin kenyataan, tetapi model-model buatan fiktif yang ditawarkan oleh media informasi seperti internet (media sosial) yang kini menjadi acuan dalam membangun citra, nilai, serta makna di dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik.
Contoh Simulasi dan simulacra dalam kehidupan
Contoh simulasi dan simulacra dalam kehidupan sehari-hari sangatlah banyak, mengingat kedua konsep ini erat terkait dengan penggunaan teknologi dan media massa yang semakin meluas dalam masyarakat modern. Beberapa contoh di antaranya adalah:
Iklan: Iklan seringkali menggunakan simulacra dalam menciptakan citra-citra produk yang sangat ideal dan tidak realistis. Misalnya, iklan makanan cepat saji sering menampilkan gambaran yang melebih-lebihkan rasa dan kualitas makanan, sehingga menghasilkan ekspektasi yang tidak realistis dari konsumen.
Dunia maya: Dunia maya, seperti media sosial dan situs web, sering digunakan sebagai bentuk simulasi dalam menciptakan citra diri online. Orang sering mengunggah foto-foto dan cerita-cerita yang melebih-lebihkan kehidupan mereka, sehingga menciptakan citra yang tidak selalu sesuai dengan realitas.
Film dan televisi: Film dan televisi sering menggunakan simulasi dalam menciptakan pengalaman visual yang intens dan mengesankan. Misalnya, film aksi dan petualangan menggunakan efek khusus dan teknologi visual untuk menciptakan citra-citra yang tidak realistis, tetapi sangat memukau bagi penonton.
Pariwisata: Industri pariwisata juga menggunakan simulasi dan simulacra dalam menciptakan pengalaman yang menarik bagi wisatawan. Misalnya, taman hiburan menggunakan teknologi untuk menciptakan pengalaman yang mengesankan, seperti roller coaster dan simulator pesawat, yang melebih-lebihkan pengalaman nyata dalam menciptakan sensasi yang lebih intens.
Dalam kehidupan sehari-hari, simulasi dan simulacra dapat mempengaruhi cara kita memahami realitas, citra diri, dan hubungan kita dengan dunia di sekitar kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus melakukan refleksi kritis tentang bagaimana teknologi dan media massa mempengaruhi cara kita memahami realitas dan bagaimana kita dapat mempertahankan keterhubungan dengan realitas yang lebih autentik dan mendalam.
Kaburnya realitas atas fantasi
Era simulasi, secara radikal bisa menghapus perbedaan antara yang nyata dengan yang fantasi, yang real dengan yang imajiner, dan saling bercampur yang kemudian membentuk sebuah kenyataan baru yang lebih benar dari yang benar, dan lebih nyata dari yang nyata. Batas yang dulunya terlihat jelas kini sudah menjadi kabur, bahkan hancur ke dalam “longsoran simulacraâ€.
Simulakra atau simulakrum berasal dari akar kata dalam bahasa latin “simulare†yang berarti “untuk menyalin, mewakili atau berpura-puraâ€. The Oxford English Dictionary dalam (Lubis, 2014: 180) memberikan pemahaman tentang simulacra yakni “aksi atau tindakan meniru atau niat untuk menipuâ€.
Menurut (Haryatmoko, 2016: 79) simulakrum merupakan pembangunan konsep atau model realitas tanpa asal usul yang ditiru dan menjadi realitas sendiri. Seperti halnya yang diutarakan Baudrillard dalam (Hidayat, 2021: 110) simulakra tidak mempunyai acuan, yang aslinya tidak pernah ada atau bisa dikatakan merupakan sebuah realitas tiruan yang tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya, ia merupakan pemalsuan dari yang palsu, tiruan dari tiruan, duplikasi dari duplikasi sehingga perbedaan antara yang duplikasi dengan yang asli menjadi kabur.
Sehingga pada masyarakat simulakra pascamodern dicirikan dengan prinsip de-diferensiasi yaitu implosi (runtuhnya kuasa untuk membuat pembedaan. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat simulasi realitas budaya, ekonomi, dan lainnya melebur menjadi satu. Secara garis besar, simulacra merupakan perpaduan dan kesatuan antara nilai, fakta, tanda, kode, dan citra yang tidak bisa dibedakan lagi dari masing-masing unsur tersebut. sehingga ada istilah simulakrum merujuk pada kondisi yang dihasilkan oleh proses simulasi.
Seperti yang diutarakan oleh (Audifax, 2007: 89) bahwa simulacra menjebak manusia dalam suatu ruang simulasi yang dianggap nyata. Konsep simulacra dari Jean Baudrillard ini hadir akibat perkembangan teknologi, terutama pada perkembangan reproduksi mekanis dan produksi elektronik dunia virtual.
Baudrillard mengkhususkan arti dari simulasi dan simulakra pada suatu bentuk yang berbeda. Ia mengemukakan bahwa simulasi berupa ketika suatu hal menyalin, meniru, menduplikasi, dan memproduksi sesuatu yang lain sebagai modelnya. Sedangkan simulakra adalah suatu tiruan tersebut sudah tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya, karena realitas yang nyata telah dibelokkan.
Ide simulasi dan simulakra merupakan efek masyarakat yang semakin menurun tingkat kesadarannya pada suatu hal yang nyata atau real karena adanya imajinasi yang diciptakan oleh media. Setiap individu pada akhirnya akan hidup dalam dunia yang menempatkan antara nyata dan virtual, realitas dan ilusi melebur menjadi satu atau dalam pemikiran Jean Baudrillard disebut dengan hiperrealitas.Â
Bagaimana Simulasi dan Simulacra menciptakan Hyperrealitas?
Simulasi dan simulacra dapat menciptakan hiperrealitas melalui pengulangan, reproduksi, dan pengulangan kembali citra-citra yang sama dalam masyarakat modern. Konsep hiperrealitas dikemukakan oleh Jean Baudrillard, yang menyatakan bahwa hiperrealitas terbentuk ketika citra-citra simulasi dan simulacra tidak lagi terkait dengan referensi asli yang ada di dunia nyata, melainkan menciptakan citra-citra baru yang hanya ada dalam media.
Dalam masyarakat modern, teknologi dan media massa memainkan peran penting dalam menciptakan simulasi dan simulacra, seperti contohnya dalam media sosial, televisi, film, dan iklan. Ketika citra-citra ini digunakan berulang-ulang dan diulang dalam masyarakat, mereka menjadi bagian dari pengalaman hidup kita dan menciptakan realitas yang dianggap sebagai hal yang nyata.
Misalnya, ketika seseorang melihat gambar produk yang diiklankan secara berulang-ulang, ia akan mulai menganggap citra produk tersebut sebagai hal yang nyata dan ideal, bahkan jika produk tersebut tidak memiliki kualitas yang diinginkan. Citra ini menjadi begitu kuat hingga menciptakan pandangan dunia yang baru dan menggantikan referensi asli dari dunia nyata.
Dalam konteks ini, hiperrealitas terbentuk ketika citra-citra yang dibuat oleh media dan teknologi tidak lagi merefleksikan dunia nyata, melainkan menciptakan citra-citra yang lebih baik dan lebih indah daripada kenyataan. Ketika masyarakat mulai mempercayai citra-citra ini sebagai realitas, maka hiperrealitas terbentuk dan menciptakan pandangan dunia yang terdistorsi dan tidak realistis.
Dengan demikian, simulasi dan simulacra dapat menciptakan hiperrealitas melalui pengulangan citra-citra yang sama dalam masyarakat modern. Hal ini dapat memengaruhi cara kita memandang realitas dan membentuk cara pandang kita tentang dunia di sekitar kita.
Hiperrealitas : Makna dan contohnya

Menurut Baudrillard, konsep hiperrealitas tidak bisa dilepas dan dipisahkan dari istilah simulasi dan simulacra, karena masing-masing penjelasan tersebut saling terkait dan memiliki hubungan yang cukup erat. Referensi dari duplikasi tidak lagi sekedar realitas, tetapi apa yang tidak nyata yakni fantasi.
Oleh karena itu fantasi bisa disimulasi seakan-akan menjadi nyata, dan perbedaan antara realitas dengan yang fantasi sudah tidak ada. Dalam penjelasan (Ratna, 2013: 294) hiperrealitas adalah kondisi dimana yang semu lebih dianggap nyata daripada kenyataan sebenarnya.
Dengan ini, pengertian hiperrealitas menurut Baudrillard merupakan suatu realitas baru, yang melampaui realitas itu sendiri. Maksudnya adalah suatu keadaan yang real (nyata) tidak lagi menjadi rujukan bagi sebuah hiperrealitas tetapi menjadi tiruan dari tiruan realitas yang semu (palsu) atau penciptaan melalui model-model sesuatu yang nyata yang tidak memiliki asal usul atau realitas.
Citra lebih meyakinkan daripada fakta, serta mimpi lebih dipercaya daripada kenyataan sehari-hari (Hidayat, 2021: 132). Sehingga hiperrealitas bagi Baudrillard merupakan simulasi dari realitas. Hiperrealitas merupakan efek, keadaan atau pengalaman kebendaan atau ruang yang diperoleh dari proses terjadinya tahapan simulasi itu sendiri.
Dalam hiperrealitas, subyek sebagai konsumen digiring ke dalam ruang yang di dalamnya realitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi, serta nostalgia berbaur dan melebur, sehingga perbedaan antara satu sama lain sulit ditemukan.
Contoh nyata fenomena hiperrealitas menurut Baudrillard dalam (Hidayat, 2021: 128) yakni boneka barbie yang telah diproduksi dan terus diproduksi oleh Mattel Toys sejak 1959. Menurutnya, barbie awalnya dibangun sebagai mainan anak-anak yang menyerupai manusia, akan tetapi lama kelamaan terjadi proses simulasi yang terjadi yakni dia merupakan boneka yang diciptakan menurut refleksi manusia, tanda, citra, dan kode yang disesuaikan dengan standar kecantikan yang ditetapkan di masyarakat.
Kemudian terjadilah proses hiperrealitas yakni dia dipermak secantik mungkin sampai tidak realistis dari kecantikan maupun peran (pekerjaan), misalnya saja saking cantiknya dia menjadi boneka tercantik melebihi kecantikan manusia yang ada.
Disini sudah terjadi proses yang tidak meniru lagi, akan tetapi sudah melampaui batas kemampuan manusia, karena tidak ada manusia yang secantik boneka barbie tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Jean Baudrillard, boneka barbie merupakan suatu realitas buatan yang telah melampaui realitas yang sebetulnya.
Berbie adalah figur manusia sempurna, dibuat tanpa referensi bentuk tubuh dan kecantikan yang melebihi gambaran pada manusia sebenarnya. Makna-makna yang ditanamkan dalam sosok barbie merupakan silang-sengkarut tanda, kode, dan citra yang sengaja diciptakan guna menjaga keberadaannya sebagai simbol wanita modern.
Fenomena hiperrealitas yang ditunjukkan boneka Barbie merupakan karakter kebudayaan pascamodern, yakni lahirnya realitas buatan yang bahkan lebih nyata daripada realitas sebetulnya.
Hiperrealitas Media sosial Tiktok – Contoh
Media sosial TikTok ini mempunyai ruang lingkup dan pola yang unik karena terdapat banyak hal yang bisa saja berbeda dan tidak ditemui dalam tatanan masyarakat real.
Media tersebut tidak lagi menampilkan realitas, tetapi sudah menjadi realitas tersendiri, bahkan apa yang ada di media sosial TikTok lebih nyata (real) dari realitas itu sendiri. Realitas saat ini tidak hanya diceritakan tetapi dapat dibuat, direkayasa, dan disimulasi. Simulasi menurut Baudrillard, 1994 dalam (Febriana, 2017: 22) kesadaran akan yang real di benak khalayak semakin berkurang, dan tergantikan dengan realitas semu.
Kondisi ini disebabkan karena imaji yang disajikan media secara terus-menerus. Khalayak seakan-akan ada di antara realitas dan ilusi karena tanda yang ada di media sepertinya sudah terputus dari realitas.
Dalam masyarakat simulasi, segala sesuatu ditentukan oleh tanda, kode, dan citra yang mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia. Ruang realitas kebudayaan saat ini merupakan cerminan apa yang disebut sebagai simulacrum atau simulacra yakni realitas tiruan yang tidak mengacu pada realitas sesungguhnya. Artinya, tidak memiliki acuan, duplikasi dari duplikasi, tiruan dari tiruan, pemalsuan dari yang palsu, sehingga tidak bisa dikenali mana yang asli dan mana yang palsu, hal ini dijelaskan Baudrillard dalam (Hidayat, 2021: 110).
Kemudian tahap selanjutnya setelah simulasi dansimulacra yakni hiperrealitas, yang merupakan realitas yang lebih nyata dari yang nyata: sesuatu yang sebetulnya palsu, buatan, tiruan, tetapi menjadi lebih nyata dari pada kenyataan itu sendiri, hal ini diutarakan oleh Jean Baudrillard, 1983 dalam (Hidayat, 2021: 128).
Hiperrealitas ini berangsur-angsur mencair di sela-sela kehidupan nyata, serta efek yang timbul yakni masyarakat semakin menggemari media sosial, seperti halnya aplikasi TikTok. Banyak remaja terlibat dalam euforia TikTok. Padahal mereka tidak menyadarinya, bahwa mereka terjebak dalam dunia simulasi yang penuh dengan ilusi (buatan).
Teori hiperrealitas, karena masyarakat saat ini lebih banyak berinteraksi melalui media sosial, terlebih lagi pada aplikasi TikTok. Berbicara tentang adanya fenomena aplikasi TikTok dan kaitannya dengan teori hiperrealitas tentu tidak terlepas dengan proses simulasi dan simulacra.
Proses simulasi ini keberadaan aplikasi TikTok tidak lagi menampilkan realitas, akan tetapi sudah menjadi realitas tersendiri, bahkan apa yang ada di aplikasi TikTok lebih nyata (real) dari realitas itu sendiri.
Seperti halnya remaja mengidolakan seseorang, melakukan konten video joget TikTok, atau menirukan suara tanpa mengetahui pencipta serta bagaimana tampak asli orang tersebut. Sedangkan dalam proses simulacra diartikan dengan realitas tiruan yang sudah tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya.
Artinya, realitas sesungguhnya ini sudah dibelokkan, remaja bisa menjadi terkenal layaknya artis tanpa harus bersusah payah dan tanpa harus mempunyai karya yang jelas. Hanya dengan mempunyai jumlah followers, dan melakukan berbagai konten seperti menirukan suara, dan joget TikTok, remaja akan dikenal oleh banyak orang.
Disini terdapat hasil dari proses editting pada konten video yang dilakukan sebelumnya, misalnya saja edit filter wajah kemudian hasilnya menjadi lebih glowing, dll.
Aktivitas apapun yang dilakukan remaja akan mereka posting di akun TikTok mereka. Hal ini bukan hanya kesenangan atau formalitas belaka, tetapi adanya persaingan guna menjadi yang terbaik. Dengan eksis di TikTok, para remaja ini berlomba-lomba menjadi yang paling di perhatikan lebih (dianggap paling populer) dari sekian banyak temannya. Upaya tersebut merupakan suatu realitas semu dalam aplikasi TikTok yang dalam kehidupan nyata hal tersebut sebetulnya tidak penting untuk dilakukan.
Hal inilah yang disebut dengan “hiperrealitas dalam popularitas diri remaja pengguna aplikasi TikTokâ€, dimana kegiatan yang dilakukan tidak hanya menunjukkan eksistensi, melainkan mempengaruhi pola perilakuremaja.
Hal ini ditunjukkan dengan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh remaja diantaranya dengan membuat suatu konten dengan cara melakukan agenda setting yang berkaitan dengan penataan konten video supaya sesuai dengan kepentingannya yang mana dianggap layak untuk dikonsumsi dan dikonstruksi oleh pengguna akun TikTok lainnya, seperti mengedit menggunakan filter cantik, perubahan warna kulit, bentuk tubuh, suara, dll. Serta meningkatkan jumlah followers mereka untuk menarik perhatian pihak-pihak tertentu supaya bisa menjadikan kepopuleran pada remaja tersebut.
Hiperrealitas ini muncul dari dalam individu karena remaja pengguna TikTok merasa dirinya akan bisa menjadi seperti artis, menarik, dan populer, padahal itu adalah realitas semu yang dimunculkan oleh pengguna.
Demikian penjelasan mengenai Hiperrealitas dari Pemikiran Jean Baudrillard, semoga Bermanfaat. Terimakasih – salam literasi.
By: Nurul Hidayah