Strategi Pembangunan Desa Wisata Berbasis Kearifan Lokal – Diadopsi dari Artikel aslinya berbahasa inggris dalam jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 9 Nomor 2, 2020.
Abstrak – Salah satu alternatif pembangunan saat ini adalah Pembangunan Pariwisata, khususnya wisata perdesaan. Permasalahan mendasar adalah bagaimana strategi yang tepat untuk mewujudkan tujuan pembangunan tersebut. Pembangunan desa wisata dapat mempertimbangkan potensi sumberdaya lokal, pemerintah, swasta, sektor ekonomi formal dan informal serta kelompok kepentingan baik internal maupun eksternal. Kajian ini berusaha mengungkap strategi yang tepat dalam membangun pariwisata di desa Telaga Biru Bangkalan berbasis sumberdaya lokal.
Kajian ini menggunakan perpektif kajian pustaka dengan pendekatan pembangunan pariwisata dalam bingkai metode kualitatif. Data berupa interpretasi hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal naisonal dan Internasional yang dianalisis secara deskriptif untuk menghasilkan kesimpulan. Hasil kajian ini adalah rumusan Bentuk wisata berupa paket wisata yang meliputi sekolah batik, permainan tradisional Madura dan pertunjukan kesenian tradisional, kuliner khas daerah, dan penginapan dengan konsep Tanean Lanjhang. Adapun Strategi Implementasi program Desa Wisata Batik melalui tahapan meliputi. Pertama peningkatan kapasitas masyarakat dengan Target Utama knowlegde, Attitude dan Practice (KAP) masyarakat setempat melalui kegiatan penyuluhan dan community Based Training (CBT).
Kedua inventarisasi Sumberdaya Manusia untuk pramuwisata / guide lokal, instruktur sekolah Batik, tim permainan tradisional Madura, penyedia kuliner khas Madura. Ketiga institusionalisasi kepengurusan desa wisata ditingkat desa yang nantinya bertanggung jawab atas keberlanjutan desa wisata. Keempat upaya bridging dan linking dengan dinas pariwisata Bangkalan dan investor. Kelima kerjasama dengan biro traveling yang ada di Madura. Keenam branding dan promosi melalui media sosial dan website desa wisata. Penerapan dari strategi ini akan menciptakan destinasi wisata baru “desa wisata Batik tulis†dalam bentuk berbeda serta akan meningkatkan ekonomi masyarkat dan pendapatan daerah.
Latar Belakang – Pembangunan Desa Wisata
Pembangunan Desa Merupakan sebuah keniscayaan, dimana konstitusi telah mengamanatkan dalam Undang undang nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa. Upaya peningkatan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Desa, telah jelas diamanatkan oleh Undang undang tentang desa tersebut dengan terminologi pembangunan desa. Upaya strategis untuk mewujudkannya melalui rangkaian kegiatan yang mampu meningkatkan kapasitas Masyarakat menuju kemandirian, berdaulat yang diartikan sebagai kegiatan pemberdayaan Masyarakat. Muqowwam dalam (Eko, et al., 2014) Menyebutnya sebagai Catur Sakti Desa yang artinya bahwa Undang Undang Tentang Desa ini berupaya mewujudkan Desa mandiri dengan bercirikan “bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budayaâ€.
Hal esensial yang sangat penting adalah esensi lokalitas dan asal desa haruslah mendapatkan “tempat†yang proporsional dalam pembangunan dan pengembangan desa, sebagaimana (ife & Tesoriero, 2008) menyebutnya sebagai pembangunan yang menghargai lokalitas (Pengetahuan lokal, proses lokal dll). Harapannya adalah mengurangi dampak negative pembangunan dengan meningkatkan partisipasi, keterlibatan masyarakat dari identifikasi hingga pengambilan keputusan untuk menghasilkan pembangunan yang tepat sasaran (Rasoolimanesh, Ringle, Jaafar, & Ramayah, 2017)
Upaya pembangunan desa dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, dan oleh berbagai pihak. Meminjam istilah dalam pemberdayaan, bahwa pembangunan dalam bingkai empowerment meniscayakan adanya peran sinergis multistakehoder dalam hal ini adalah pemerintah, swasta dan masyarakat (Rasoolimanesh, Ringle, Jaafar, & Ramayah, 2017), (Narayan, 2002) menggambarkan peran Stakeholder Pemberdayaan dalam diagaram untuk melihat tingkat keterlibatan masing masing dalam proses inisiatif dan kreatifitas mulai dari Directing, Delegating, Enabling dan Empowering. Wacana pengembangan dan pembangunan desa menyisakan diskursus yang komplek, mulai dari arah pengembangan, esensi dan model pengembangannya.
Logika pembangunan ini meniscayakan adanya reorientasi Pembangunan Masyarakat – Desa, village driven development–VDD dengan prasyarat Desa – Masyarakat sebagai satu kesatuan kepentingan, tujuan, dan ditempatkan sebagai Subjek dalam pembangunan. Namun demikian, penempatan masyarakat sebagai subjek ini tidak sekedar merubah dari objek menjadi subjek, akan tetapi disertai dengan penanaman kesadaran akan hak dan posisinya sebagai subjek (Sitorus, 2017), (Eko, et al., 2014).
Desa pada prinsipnya adalah ujung tombak pembangunan Nasional. Proses identifikasi masalah sebagai langkah awal pembangunan idealnya dimulai dari Desa. Arah model pembangunan desa, diupayakan bersifat komprehensif dan multidimensi yang menyentuh aspek fisik, sosial, budaya, ekonomi. Salah satu model pembangunan demikian adalah pembangunan Pariwisata . Menurut Smith dan Eadington, 1992; Weiler dan Hall, 1992 dalam (Raharjana, 2012) dan (Huang, Beeco, Hallo, & Norman, 2016) Pembangunan pariwisata dianggap sebagai alternative pembangunan berbasis industri yang dikenal tidak ramah lingkungan, sementara itu, Pariwisata mengurangi dampak kerusakan lingkungan, konservasi budaya (wisata budaya) dan menciptakan transformasi ekonomi berbasis Jasa.
World Tourism Organization (WTO) menunjukkan adanya Wisata Alternatif yang dinilai ramah pada lokalitas masyarakat. Pengetahuan, kebudayaan dan kearifan lokal akan lebih terjamin dengan model pengembangan pariwisata alternative perdesaan ini.
Perkembangan sektor pariwisata menunjukkan trend positif yang dapat diharapkan mampu mendorong sektor perekonomian mulai dari perdesaan hingga nasional (Amerta, Sara, & Bagiada, Sustainable Tourism Development, 2018). Desa, sebagai subyek pembangunan memiliki dukungan kebijakan disentralisasi Fiskal berpeluang memanfaatkannya sebagai modal pembangunan pariwisata. Salah satu desa yang telah sukses membangunan desa Wisata dengan modal Dana desa adalah Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul.
Desa Bleberan ini merupakan salah satu desa Wisata terbaik di Yogyakarta (Sidik, 2015). Model Pembangunan desa Wisata ini juga Mengantarkan Desa Ponggok Polanharjo Klaten sukses memberdayakan masyarakat untuk mendapatkan passive income dengan berinvestasi di Wisata Desa yang dikelola BUMDES dengan pendapatan 5 – 7 % dari nilai investasinya tiap bulan. Hal ini mampu mengantarkan desa Ponggok sebagai desa Wisata terbaik di Indonesia dalam kategori Pemberdayaan Masyarakat (Listy, 2017).
Desa Wisata Merupakan lokasi perdesaan yang memiliki keunikan dengan karakteristik khusus yang dapat dijadikan atraksi wisata. Atraksi sebagai daya tarik wisata desa ini pada umumnya berupa keindahan alam (Sumberdaya Alam) budaya atau kearifan lokal yang unik dan potensial mendatangkan wisatawan (Zakaria & Suprihardjo, 2014). Desa Telaga Biru kecamatan Tanjung bumi Bangkalan merupakan desa yang memiliki kearifan lokal berupa batik Tulis. Batik tulis dari desa ini lazim kemudian disebut dengan Batik tanjung Bumi dimana merupakan salah satu batik terbaik di Madura.
Pembangunan pariwisata di perdesaan meniscayakan pemanfaatan sumberdaya lokal, kearifan lokal yang khas menjadi daya tarik pariwisata untuk meningkatkan ekonomi masyarakat (Wijijayanti, Agustina, Winarno, Istanti, & Dharma, 2020), (Komariah, Saepudin, & Rodiah, 2018). Penelitian (Farhan & Anwar, 2016), menunjukkan Pemanfaatan kearifan lokal berupa atraksi sumberdaya alam (pantai, danau, kepulauan) maupun Atraksi Sosio-religius Makam Waliyullah, dan budaya khas. Hal ini menunjukkan urgensi pemanfaatan sumberdaya lokal dalam pembangunan pariwisata di kepulauan Bawean Gresik dan sejauh ini berhasil menjadi daya tarik utama pariwisata Pulau Bawean.
Sumberdaya lokal merupakan hal esensial dalam masyarakat yang dapat dimanfaatkan dengan Prasyarat masyarakat harus memiliki kemampuan identifikasi, kesadaran dan kemauan pandangan positif dan partisipatif (Soetomo, 2014) . Sementara itu (Rasoolimanesh, Jaafar, Ahmad, & Barghi, 2017) memetakan partisipasi masyarakat melalui model Motivasi, Peluang dan Kemampuan (MOA). Diantara dimensi kemampuan adalah kesadaran dan pengetahuan yang memiliki korelasi positif dimana tingkat kesadaran dan pengetahuan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Kesadaran akan potensi diri dalam masyarakat berpeluang tinggi dalam pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk pembangunan pariwisata.
Pembangunan Desa Wisata tidak sekedar mengembangkan Suatu kawasan menjadi destinasi wisata Baru, akan tetapi juga menjaga dampak negative, perubahan identitas lokal. Sebagaiman pariwisata di pedesaan China merubah identitas lokal pasca pembangunan Pariwisata “ Rural identity became less ‘‘ruralâ€. (Xue, Kerstetter, & Hunt, 2017) menemukan bahwa pembangunan pariwisata perdesaan di China berdampak pada lunturnya nilai lokalitas yang mencakup norma, pengetahuan lokal dan yang terpenting adalah hilangnya keterampilan pertanian.
(Lai & Hitchcock, 2017) dalam studinya menilai bahwa gangguan dari wisatawan berpengaruh signifikan pada persepsi masyarakat pada pengembangan pariwisata. Hal ini dikarena adanya dimensi emosional dalam solidaritas masyarakat setempat. Oleh karenanya pemeilihan strategi yang tepat selain menumbuhkan pariwisata, juga akan menarik dukungan dari masyarakat lokal.
Namun demikian, optimisme pembangunan harus tetap ditanamkan untuk membangun wisata perdesaan dengan strategi yang tepat. Mengacu pada penelitian yang dilakukan (Mtapuri & Giampiccoli, 2016) bahwa pembangunan pariwisata dapat dilakukan dengan sinergi sektor swasta, pemerintah, masyarakat baik secara Bottom Up maupun Top Down serta melibatkan sektor formal maupun informal secara ekonomi. Menurut (Mandić, Mrnjavac, & Kordić, 2018) Pembangunan pariwisata khususnya fasilitas, infrastruktur dibutuhkan tidak sekedar untuk mengatasi semakin banyaknya pengunjung, akan tetapi juga harus dipertimbangkan “semakin canggihnya†kebutuhan pengunjung.
Pembangunan infrastruktur dan fasilitas ini menurut studi (Mandić, Mrnjavac, & Kordić, 2018) di Kroasia ini pada umumnya diserahkan kepada pihak swasta karena keterbatasan pendanaan dari pihak pengelola. Hal ini dapat meningkatkan keterlibatan Swasta dalam pembangunan pariwisata.
Pembangunan desa Wisata, Menurut (Amerta, The role of tourism stakeholders at Jasri tourism village development, Karangasem regency, 2017) berdasarkan penelitiannya di Desa Wisata Jasri, bahwa pembangunan desa wisata tersebut sejak awal melibatkan sinergi triplehelix (Masyarakat lokal, Swasta / investor dan Pemerintah) dengan komitmen pembagian peran masing masing. Menurutnya masyarakat lokal berkomitmen meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, eksplorasi potensi wisata, menjaga kebersihan, fasilitas lokal dan lembaga pendukung. Sementara itu pemerintah memberikan dukungan melalui program PNPM mandiri, legitimasi, panduan public dan promosi. Sementara itu investor berperan dalam inisiasi gagasan pengembangan, motivasi positif, dukungan promosi dan memberikan feedback positif.
Selain itu, tidak kalah pentingnya dalam pembangunan pariwisata adalah orientasi masa depan. Meminjam istilah “sustainable development†pariwisata juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan, baik secara sosial, ekonomi dan sumberdaya alam. (Lee & Jan, 2019) dalam penelitiannya, membagi Community Based Tourism (CBT) menjadi tiga tahapan agar pariwisata berkelanjutan. Involvement, development and Consolidation stages.
Pada tahap keterlibatan, berfokus pada distribusi manfaat ekonomi dan melindungi sumberdaya alam dengan memberikan edukasi kepada masyarakat agar mampu menyediakan fasilitas dan amenitas dan mampu menawarkan kearifan lokal sebagai atraksi wisata untuk menghasilkan peluang kerja dan penghasilan.
Selanjutnya memberikan edukasi kepada wisatawan agar mampu menghargai sumberdaya alam dan sosial budaya. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan jalur khusus dan penerjemah lokal untuk memberikan pemahaman kepada wisatawan tentang kewajibannya untuk menjaga sumberdaya alam, lingkungan dan sosial budaya. Pada tahap Pengembangan dan konsolidasi, harus dilakukan pemantauan akan daya dukung sosial dan masalah konservasi lingkungan. Selanjutnya adalah zonasi pemisahan pemukiman dan lokasi wisata untuk menjaga kenyamanan masyarakat dari kebisingan wisatawan.
Kajian ini dilakukan untuk merumuskan strategi pembangunan desa wisata telaga biru dengan mempertimbangkan pemanfaatan potensi, dan sinergi stakeholders. Potensi desa Telaga Biru dapat dimanfaatkan sebagai atraksi wisata, Potensi Sumberdaya lokal yang tersedia berupa hamparan pantai, Perahu Sarimuna Peninggalan syech Kholil Bangkalan, dan batik tulis Madura khas tanjung Bumi. salah satu batik yang cukup terkenal dari desa telaga biru adalah batik gentongan.
Batik Gentongan adalah salah satu batik unggulan di desa telaga biru, dikatakan unggul batik ini mempunyai ciri khas yang tidak lazim dengan batik yang lainnya yakni pada proses pembuatannya, dimana prosesnya dengan cara direndam didalam gentong minimal 1 bulan agar warna dari Batik gentongan tersebut menghasilkan warna yang lebih cerah dan tahan lama dan warna Batik Gentongan semakin lama warnanya semakin cemerlang meski kainnya telah rapuh (Potensi Desa Telaga Biru, 2018).
Dari penjelesan diatas, bahwa untuk Atraksi baik Sumberdaya Alam, Budaya maupun Artifisal cukup memadai. Namun, untuk Amenitas dan Akses belum maksimal mengingat letaknya yang cukup jauh dari pusat kota bangkalan. Persoalan lain adalah jalur menuju Desa ini melalui pantai Utara yang kurang ramah bagi wisatawan yang terbiasa melalui Jalur selatan ketika ke sampang, pamekasan maupun sumenep. Akses jalan menuju ke Tanjung bumi banyak berlobang bergelombang. Oleh karenanya diperlukan rumusan strategi yang diadaptasi dari berbagai referensi pembangunan pariwisata baik nasional maupun internasional.
Metode Penulisan dan Bahan kajian
Artikel Singkat ini menggunakan metode kajian pustaka dalam bingkai metode kualitatif. Kajian pustaka merupakan upaya mengkaji persoalan tertentu dengan menggunakan bahan data sekunder. Terdapat beberapa varian kajian pustaka, metode dalam paper ini dilakukan dengan mengumpulkan literature atau bahan bacaan yang secara khusus berkaitan dengan objek kajian dengan sudut pandang relevansi dan kedekatan permasalahan (Prastowo, 2012) . Tahapan analisis dalam paper ini adalah membaca data data ilmiah yang telah terbit dengan mempertimbangkan relevansi dan kedekatan permasalahan. Kemudian Mencatat hasil interpretasi atas proses bacaan dan menyusunnya dalam bentuk narasi Deskriptif – komparatif.
Beberapa bahan literature yang dijadikan data dalam penulisan ini adalah (Amerta, The role of tourism stakeholders at Jasri tourism village development, Karangasem regency, 2017), (Amerta, Sara, & Bagiada, Sustainable Tourism Development, 2018), (Huang, Beeco, Hallo, & Norman, 2016), (Lai & Hitchcock, 2017), (Komariah, Saepudin, & Rodiah, 2018), (Lee & Jan, 2019), (Mandić, Mrnjavac, & Kordić, 2018), (Mtapuri & Giampiccoli, 2016), (Rasoolimanesh, Ringle, Jaafar, & Ramayah, 2017), (Rasoolimanesh, Jaafar, Ahmad, & Barghi, 2017),
(Wijijayanti, Agustina, Winarno, Istanti, & Dharma, 2020), (Xue, Kerstetter, & Hunt, 2017), (Sidik, 2015), (Raharjana, 2012), (Purbasari & Asnawi, 2014), (Jupir, 2013), (Hidayat, 2011), (Rani, 2014), (Nawawi, 2013), (Satriyati, 2016) Bahan atau data sekunder dari berbagai jurnal nasional dan chapter Book pariwisata Madura di interpresi kemudian dianalisis sesuai dengan kajian dalam paper ini. Hasil diskusi kemudian ditarik kesimpulan berupa strategi pengembangan desa wisata berbasis sumberdaya lokal di Kecamatan Tanjung Bumi Bangkalan.
Hasil dan Pembahasan
Pembangunan dan pengembangan Pariwisata tidak dapat dilepaskan dari empat kata kunci yang secara simultan embedded dalam proses hingga menghasilkan suatu model. Pertama pariwisata merupakan pilihan alternative pembangunan ekonomi kawasan dan erat kaitannya dengan keberlanjutan. Artinya pembangunan pariwisata tidak sekedar menyediakan kebutuhan wisatawan melainkan juga masa depan masyarakat sekitar terutama keberlangsungan sumberdaya Alam.
Hal ini sejalan dengan pemikiran (Hall, 2019) dimana hampir semua sektor pembangunan dikaitkan dengan program Sustainable development Goals (SDGs) dimana pembangunan harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan terutama permasalahan lingkungan. Kehadiran program PBB, SDGs ini berpengaruh pada kebijakan pariwisata terutama dalam managerial ekologi dan re-thinking relasi manusia – lingkungan untuk mengatasi persoalan pariwisata berkelanjutan.
Kedua pariwisata meniscayakan adanya peran dan partisipasi masyarakat sekitar. Sebagaimana kita ketahui partisipasi merupakan spirit pembangunan untuk mewujudkan keberdayaan masyarakat. Tujuan dari pelibatan masyarakat setempat adalah untuk menjaga kelestarian lokalitas sekaligus memberikan benefit bagi masyarakat setempat secara ekonomi dari pariwisata yang dikembangkan.
Ketiga konsep atau bentuk wisata yang akan dikembangkan. Saat ini dinamika kebutuhan pariwisata melahirkan berbagai varian wisata, misalnya wisata perkotaan, wisata bahari , wisata edukasi dan wisata perdesaan. Stratgegi pengembangan dan pengelolaannya pun variatif seiring dengan variasi bentuk wisata yang akan dikembangkan. Keempat pembangunan pariwisata dinilai pro poor kebijakannya bersifat populis, terutama wisata perdesaan. Pembangunan pariwisata perdesaan ditujukan meningkatkan perekenomian masyarakat miskin pedesaan menuju kemandirian (Satriyati, 2016).
Pembangunan pariwisata pada umumnya mempertimbangkan 3 A (Atraksi, Amenitas dan accessibility). Atraksi merupakan daya tarik yang ditawarkan baik sumberdaya alam, budaya dan artificial dari sumberdaya alam dan budaya (Inskeep, 1991). Disamping itu, factor amenitas atau fasilitas juga cukup signifikan berpengaruh pada kesuksesan pengembangan pariwisata, dan A yang ke 3 atau akses juga sangat vital dalam pengembangan pariwisata.
Hasil kajian interpretasi atas bahan literature dalam paper ini sebagai berikut:
Sumber Interpretasi kesimpulan (Zakaria & Suprihardjo, 2014) Sumber ini memetakan Komponen desa wisata, konsep pengembangan desa wisata, potensi desa. pengembangan kawasan desa wisata didasarkan pada aktifitas keseharian warga masyarakat yang bertani dapat dikembangkan sebagai wisata agrowisata. Atraksi budaya yang dapat dikembangkan berkaitan dengan sapi sono’ dan batik. Secara spasial dibedakan menjadi tiga. Penyediaan rute, penyediaan sarana transportasi khusus kegiatan sehari-hari masyarakat Desa dan penyediaan sarana penunjang kegiatan wisata. Adapun konsep non spasial adalah dengan memanfaatkan adat istiadat sebagai peraturan, pelatihan, web development, pelibatan masyarakat, dan penetapan keijakan pemerintah (Rani, 2014) Pengembangan pariwisata oleh pemerintah daerah Kabupaten Sumenep mampu meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pariwisata, namun belum memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat sekitar tempat wisata. Kendala dalam pengembangan pariwisata disebabkan terbatasnya infrastruktur yang ada. (widiyanto, Handoyo, & Fajarwati, 2018) Wisata di Desa Ketingan hanya mengandalkan atraksi alam berupa habitat Burung Kuntul dan Blekok. Upaya pengembangan Wisata di desa Ketingan ini dapat berupa peningkatan pemasaran, meingkatkan pelayanan dan kualitas sumberdaya manusia, pemeliharaan mutu dari apa yang ditawarkan dan peningkatan partisipasi masyarakat (Nawawi, 2013) Pengelolaan wisata di pantai Depok dilakukan dengan pendirian koperasi wisata Mina Bahari 45 yang beranggotakan masyarakat sekitar lokasi wisata. Bentuk partisipasi masyarakat adalah menjaga lingkungan Pantai, pengelolaan sampah, pembuangan limbah cair, daur ulang sampah, peng adaan air bersih, evaluasi lingkungan.serta keamanan (Hidayat, 2011) Objek wisata pantai Pangandaran masih popular dikalangan wisatawan Domestik. Oleh karena pantai ini berpeluang untuk dikembangkan. Upaya ini memutuhkan peran serius dari pemerintah. Mengingat saat ini kondisi sarana dan prasarana mengalami kerusakan. Adapun langkah Optimalisasi penyiapan sarana danprasarana untuk mendukung pengembangan wisata bahari, seperti penyediaan alat selam, papan penunjuk tempat wisata, alat snorkeling, penjaga/polisi pantai, termasuk information center, penyediaan toilet, dan tempat sampah yang memadai bagi pengunjung yang membutuhkan. (Sidik, 2015) Pengembangan desa wisata Bleberan Gunungkidul Yogyakarta cukup berhasil dengan indikasi meningkatnya Pendapatan asli Desa (PADes ) secara signifikan sejak 2010 – 2014 berkat pemanfaatan modal Sosial berupa Organisasi desa, kepercayaan, norma dan jaringan. Permasalahan muncul kemudian karena ada kecemburuan sosial antar Dukuh. Pengelolaan BUMDES belum maksimal, dan munculnya pelaku Ekonomi di lokasi wisata dari kalangan menengah. (Raharjana, 2012) Berangkat dari perspektif “masyarakat sebagai subyek pembangunan†bahwa apapun bentuk pembangunan, termasuk pariwisata sudah seharusnya menempatkan masyarakat sebagai subyek yang menentukan arah dan tujuannya sendiri. Partisipasi masyarakat berserta komponen sosialnya dalam pengelolaan wisata Dieng Plateau cukup tinggi. eksistensi Dieng Plateau sendiri masih berpeluang menarik wisatawan baik nasional maupun internasional meskipun model Wisata yang ditawarkan berbentuk massive-tourism. Masyarakat semakin solid dalam mengelola pariwisata seiring dengan ketidakpastian hasil dari sektor pertanian yang selama ini menjadi sumber pendapatan utama. (Jupir, 2013) Mengkaji implementasi kebijakan pariwisata berbasis kearifan lokal di Manggarai Barat dengan pendekatan implementasi kebijakan Model Edward III. Sumberdaya yang tersedia belum dimanfaatkan secara maksimal, komunikasi dan koordinasi belum berjalan secara optimal dan akhirnya pariwisata berbasis kearifan lokal belum berkontribusi secara maksimal bagi pemerintah, swasta dan masyarakat. Kondisi ini disebabkan karena model kebijakan yang bersifat top down, jejaring yang terbatas dalam pemasaran pariwisata, keterbatasan sumberdaya manusia kinerja implementor kebijakan masih rendah, ego sektoral dan kondisi sosial politik yang mewarnai. (Umami, 2015) Social strategy melalui strategy impact dan social impact melaui media sosial untuk mempromosikan Pariwisata Yogyakarta menghasilkan sinergitas antara pelaku pariwisata dengan wisatawan yang pernah berkunjung ke Yogyakarta. Kegiatan promosi pariwisata menjadi mudah dan Murah melalui Media sosial. karena sifat media sosial yang interaktif, sehingga feedback dari pengunjung dapat dijadikan bahan evaluasi bagi pengelola pariwisata. (Atiko, Sudrajat, & Nasionalita, 2016) Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi khususnya penggunaan media internet menyebabkan meningkatnya pengguna Internet di Dunia, termasuk di Indonesia. Media internet paling Popular dengan pengguna terbanyak adalah Media Sosial Seperti Facebook, Twitter, Youtube, Path, Line, dan BBM. Salah satu yang menjadi favorit saat ini Instagram. Dengan jumlah pengguna yang terus meningkat, Instagram menjadi peluang yang besar bagi para pelaku bisnis pariwisata. Media ini dijadikan oleh Kementrian Pariwisata dalam promosi wisata Indonesia. (Nalayani, 2016) Pengembangan desa Wisata ditujukan untuk : Memberikan dampak pemerataan Pembangunan hingga tingkat Desa dengan cara menarik wisatawan. Pengembangan desa wisata meniscayakan pelibatan masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian lokalitas.
Atraksi Sumberdaya alam, budaya dan artificial : Potensi dan Peluang di Desa Telaga Biru
Desa Telaga Biru (Tebiruh) merupakan Desa n yang berada dalam wilayah administrasi kecamatan Tanjung Bumi Bangkalan. Kedua desa ini kurang lebih berjarak 40 KM dari pusat kota Bangkalan kea rah Utara. Kedua desa ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil batik Madura Terbaik. Atraksi wisata Desa Telaga Biru dari sisi sumberdaya Alam berupa pantai Telaga Biru. Pantai Telaga Biru tersebut menjadi sumber mata pencaharian masyarakat seperti memancing dan berlayar.
Masyarakat Telaga Biru khususnya laki-laki juga bekerja sebagai pengangkut hewan ternak seperti kambing dan sapi dari prahu ke kapal layar. Selain itu sebagaian warga desa Telaga Biru juga berkerja sebagai pengantar masyarakat untuk pergi memancing di laut lepas.Menjelang sore hari banyak masyarakat yang berkunjung di Pantai Telaga Biru diantaranya ada yang bermain pasir, berenang, dan foto-foto (Pantai Telaga Biru, 2018).
Batik khas Telaga Biru yang mulai dikenal masyarakat luas hingga luar pulau Madura. Ciri khas batik yang diproduksi masyarakat desa Telaga Biru berpedoman pada batik cina, karena menurut masyarakat setempat adanya batik di desa telaga biru pertama kalinya dibawa atau dikenalkan secara tidak langsung oleh warga cina yang merantau. Dengan ciri warna yang menyala dan mayoritas berwarna merah.
Batik Gentongan adalah salah satu batik unggulan di desa telaga biru, dikatakan unggul batik ini mempunyai ciri khas yang tidak lazim dengan batik yang lainnya yakni pada proses pembuatannya, dimana prosesnya dengan cara direndam didalam gentong minimal 1 bulan agar warna dari Batik gentongan tersebut menghasilkan warna yang lebih cerah dan tahan lama dan warna Batik Gentongan semakin lama warnanya semakin cemerlang meski kainnya telah rapuh, air yang dibuat merendam batik ini berasal dari air campuran rempah-rempah
Sepanjang perjalanan menyusuri desa Telaga Biru pengunjung akan disajikan dengan spot yang dapat dijadikan tempat berfoto antara lain, jembatan Telaga Biru, pelabuhan, perahu, dan masih banyak lagi. Desa Telaga Biru memiliki kapal Sarimuna. Kapal Sarimuna merupakan sebuah potensi pariwisata yang cukup menjanjikan bagi perkembangan desa Telaga Biru, terlebih lagi kapal tersebut merupakan peninggalan sejarah dari tokoh Islam yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Madura dalam menyebarkan Agama Islam di Madura yaitu syeikh khona cholil.
Selain perahu Sarimuna terdapat pula beberapa peningggalan Syaikhona Kholil yang masih ada diantaranya rumah kediaman Syaikhona Kholil musholla, masjid, dan pondok atau gazebo yang berjarak kurang lebih 200 m dari perahu Sarimuna. Peninggalan Syaikhona Kholil sampai saat ini masih diyakini masyarakat sebagai tempat dan benda bertuah. Keyakinan masyarakat ini diperkuat dengan beberapa kejadian mistis dan dianggap memiliki kekuatan magic yang sering diceritakan oleh masyarakat sekitar.
Strategi Pembangunan desa Wisata berbasis sumberdaya Lokal di desa Telaga Biru
Mengacu pada sumberdaya lokal yang tersedia di Desa Telaga Biru baik sumberdaya alam, sosial maupun artificial, model pariwisata yang ditawarkan adalah Paket wisata edukasi Batik tulis terintegrasi. Artinya wisata batik tulis ini bukan sekedar wisata belanja melainkan wisata yang menawarkan edukasi sekaligus pengalaman dan pengetahuan seputar batik tulis, teknik membatik dan filosofi batik tulis tanjung Bumi.
Terintegrasi artinya selain wisata budaya batik tulis, juga disajikan wisata sumberdaya alam berupa pantai telaga biru, peninggalan bersejarah Perahu Sarimuna sebagai satu paket wisata. Untuk memperluas cakupan dampak ekonominya juga ditawarkan penginapan dengan konsep tanean Lanjhang bentuk sistem tempat tinggal khas masyarakat Madura. Paket wisata ini juga mencakup malam keakraban dengan warga masyarakat yang diisi dengan bakar ikan hasil laut, permainan tradisional Madura dan pertunjukan kesenian tradisional Madura dan tidak lupa hidangan kuliner khas daerah Madura.
Model Wisata Batik Tulis terintegrasi ini memiliki beberapa keuntungan, diantaranya melestarikan identitas, nilai, dan kearifan lokal masyarakat setempat sehingga kehadiran industri pariwisata tidak menjadi boomerang yang mengancam eksistensi dan identitas lokalitas sebagaimana hilangnya identitas dan keterampilan lokal masyarakat dalam temuan (Xue, Kerstetter, & Hunt, 2017) yang menyebutnya dengan istilah “Rural identity became less ruralâ€. Selanjutnya, Mampu melibatkan banyak pihak dan banyak sektor baik formal maupun informal dalam implementasinya Sebagaimana hasil kajian (Mandić, Mrnjavac, & Kordić, 2018).
Pembangunan pariwisata edukasi batik tulis terintegrasi ini kiranya dapat terwujud dengan baik melalui beberapa strategi Pertama peningkatan kapasitas masyarakat dengan Target Utama knowlegde, Attitude dan Practice (KAP) masyarakat setempat melalui kegiatan penyuluhan dan community Based Training (CBT). Masyarakat akan diberikan pelatihan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Basis peningkatan kapasitas ini adalah pada knowledge, attitude dan practice masyarakat. Knowledge atau pengetahuan masyarakat setidaknya mencakup apa yang harus diketahui dan apa yang telah diketahui.
Masyarakat akan diberikan “pengetahuan†berkaitan dengan factor factor pengembangan pariwisata dari sisi masyarakat, bagaimana peran dan tanggung jawab masyarakat, bagaimana management pengelolaan tempat pariwisata, dan bagaimana agar masyarakat berpartisipasi terutama dalam hal keamanan. Prinsip keterlibatan masyarakat lokal ini sejalan dengan penelitian (Amerta, The role of tourism stakeholders at Jasri tourism village development, Karangasem regency, 2017) , dimana masyarakat berkewajiban meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam proses pembangunan desa wisata.
Selain itu, (Lee & Jan, 2019) Menempatkan keterlibatan masyarakat dengan meningkatkan kesadaran dan kapasitasnya agar mampu bersaing memanfaatkan peluang kehadiran wisatawan. (Lee & Jan, 2019) mensyaratkan adanya pengetahuan, kemampuan dan kesadaran sama halnya dengan prinsip Peningkatan Knowledge, Attitude and Practice (KAP).
Sementara itu, apa yang telah diketahui oleh masyarakat namun belum disadari sebagai potensi maka akan diberikan stimulus agar dapat diaktualisasikan dalam pengembangan pariwisata. Attitude merupakan sikap kepribadian masyarakat yang sekiranya dapat mendukung pengembangan pariwisata. Misalnya bagaimana menyapa, memperlakukan, memberikan pelayanan kepada wisatawan agar dengan sikap dan kepribadian masyarakat setempat wisatawan merasa nyaman dan berpotensi untuk kembali berkunjung.
Practice atau keterampilan dalam menghasilkan produk baik barang maupun jasa. Setidaknya masyarakat setempat telah memiliki keterampilan batik tulis dengan kualitas terbaik di Madura. Melalui pelatihan CBT ini keterampilan membatik tidak sekedar menghasilkan Kain batik tapi mampu dikembangkan sebagai basis wisata edukasi batik tulis sekaligus konservasi budaya (Lubis, 2016).
Kedua inventarisasi Sumberdaya Manusia mulai pramuwisata / guide lokal, instruktur sekolah Batik, tim permainan tradisional Madura, penyedia kuliner khas Madura dan lainnya. Tahapan ini dilakukan dengan membentuk kelompok masyarakat dengan pembagian tugas sesuai kebutuhan yang disepakati bersama. Langkah ini merupakan upaya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan Wisata desa, sebagaimana (Nawawi, 2013)uraikan bagaimana partisipasi masyarakat depok dalam mengelola wisata bahari dengan membentuk Koperasi dan (Raharjana, 2012) bahwa kesadaran masyarakat sebagai subyek pembangunan pariwisata yang menentukan bentuk dan arah pembangunan wisata dapat mempertahankan eksistensi wisata Dieng Plateau hingga saat ini.
Ketiga institusionalisasi kepengurusan desa wisata ditingkat desa yang nantinya bertanggung jawab atas keberlanjutan desa wisata. Proses pembangunan wisata ini secara kontinyu berjalan berproses, logika ini meniscayakan adanya kepengurusan resmi ditingkat Desa. komitmen bersama berbagai elemen masyarakat sangat penting. Sebagaimana di kutip dari Web desa bahwa di desa Telaga biru telah terbentuk PokDarwis (Kelompok sadar Wisata), diharapkan kelompok ini dapat berjalan secara optimal dalam pengembangan pariwisata di Tanjung Bumi ini. Selain itu, peran aparatur desa, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) harus dimaksimalkan. Ego sektoral dan sentiment antar element masyarakat harus diminamilisir agar tidak menimbulkan persoalan baru dalam pengembangan wisata ( (Jupir, 2013), (Sidik, 2015).
Keempat upaya bridging dan linking dengan dinas pariwisata Bangkalan dan investor. Tahap ini merupakan bagaimana elemen pentahelix pariwisata dapat bersinergi khususnya pemerintah (dengan kebijakannya) dan pelaku bisnis (investor) dengan modalnya, mengingat pembangunan pariwisata membutuhkan kebijakan yang populis dan modal penyediaan amenitas, sarana infrastruktur yang memadai. Upaya bridging dan Linking ini merupakan pemanfaatan modal sosial potensial berupa jaringan sosial yang secara produktif menjembatani kepentingan masyarakat dengan stakeholder lain dalam pembangunan wisata di desa telaga biru.
Kelima kerjasama dengan biro traveling yang ada di Madura, sebagai objek wisata baru membutuhkan jaringan pemasaran untuk memudahkan, mempercepat dikenal oleh public. Salah satu solusinya adalah dengan menjalin kerjasama dengan biro travel yang sudah ada terutama yang melayani destinasi wisata Madura.
Keenam branding dan promosi melalui internet dengan media sosial dan website desa wisata. Era revolusi industri saat ini sumber informasi bertransformasi pada bentuk digital. Media branding promosi paling efektif saat ini adalah media sosial, website dan sumber media online mengingat Indonesia merupakan salah satu Negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. Media branding online ini lebih efektif dari sisi waktu, biaya dan jangkauan yang luas. Tahap ini dapat dilakukan dengan Branding positif Madura – Promosi (Atiko, Sudrajat, & Nasionalita, 2016), (Umami, 2015).
Mengakhiri catatan singkat ini, langkah strategis tersebut membutuhkan komitmen semua elemen baik masyarakat, pemerintah – desa maupun daerah. Pemerintah desa harus berkomitment untuk memaksimalkan peran Bumdes, misalnya dengan membentuk dan membina perajin Batik Madura dan menyediakan sarana pemasarannya dilokasi wisata. Pemerintah desa juga harus komitment dalam pemanfaatan dana Desa terutama untuk memperbaiki infrastruktur desa yang mendukung pengembangan wisata.
Kesimpulan dan Saran
Potensi desa wisata Telaga Biru berpeluang dimanfaatkan sebagai desa wisata untuk mewujudkan desa Mandiri. Konsep wisata yang ditawarkan berupa “Wisata Batik terintegrasi†.bentuk wisata ini adalah : paket wisata membatik, pengunjung dikenalkan dan diajarkan sekaligus praktek membatik, kemudian menikmati keindahan alam berupa pantai telaga biru, mengunjungi peninggalan Perahu Sarimuna, permainan tradisional Madura, kuliner khas Madura, dan menikmati malam keakraban dengan warga dengan bakar ikan bersama dan menginap di penginapan dengan konsep Tanean Lanjhang.
Banyaknya varian wisata yang ditawarkan akan berkorelasi positif dengan peluang masyarakat untuk meningkatkan penghasilan baik dari berjualan maupun jasa. Dengan demikian diharapkan peningkatan pendapatan ini mampu meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Adapun strategi pengembangannya melalui Pertama peningkatan kapasitas masyarakat melalui penyuluhan dan community Based Training (CBT). Kedua inventarisasi Sumberdaya Manusia Ketiga institusionalisasi kepengurusan desa wisata ditingkat desa. Keempat upaya bridging dan linking dengan dinas pariwisata Bangkalan dan investor. Kelima kerjasama dengan biro traveling yang ada di Madura. Keenam branding dan promosi melalui media sosial dan internet dengan website desa wisata
Penelitian ini terbatas pada kajian strategi pembangunan pariwisata berdasarkan referensi pengembangan wisata diberbagai daerah. Pada tataran praktis, sejauh ini pembangunan pariwisata di Madura khususnya di kabupaten bangkalan masih mengalami stagnasi karena banyak faktor, diantaranya stigma negative keamanan Madura, ego sektoral stakeholders dan tingkat kesadaran masyarakat. Diharapkan penelitian selanjutnya mengembangkan pada persoalan pemanfaatan lokalitas untuk meningkatkan keamanan, penelitian fasilitasi sinergi antar pemerintah daerah di Madura, Pemanfaatan media online untuk membentuk citra positif Madura dan penelitian Aksi untuk implementasi rencana strategis pembangunan pariwisata di Madura.
Saran
Keseimbangan Peran antara Masyarakat dan pemerintah sesuai dengan kapasitasnya. Pemerintah dengan kabijakannya diharapkan meningkatkan kesadaran masyarakat akan potensi diri dan diberikan fasilitas untuk pengembangan kapasitas. Hal ini akan memuwujudkan dimensi empowering daripada sekedar delegating, directing dan enabling. Pemerintah harus berkomitment dalam pemanfaatan dana desa untuk mendukung pembangunan desa wisata. Pelibatan akademisi dalam perencanaan dan implementasi. Branding Madura baik untuk membangun citra positif Madura yang sejauh ini mendapatkan citra negative terutama berkaitan dengan keamanan. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan instansi pendidikan untuk menugaskan kepada siswa atau mahasiswa Madura untuk berbagi pengalaman positif dan hal baik tentang Madura di media sosial.