Sistem Politik di Indonesia dalam Pendekatan Historis

Sistem Politik di Indonesia dalam Pendekatan Historis, meliputi era demokrasi liberal parlementer, Era Demokrasi Terpimpin, era orde baru dan era Reformasi

baca juga: New : Penjelasan Ilmu Politik lengkap 2022

Sistem Politik di Indonesia dalam Pendekatan Historis

Demokrasi Liberal parlementer

Pasca proklamasi 17 Agustus 1945 Indonesia mengalami pasang surut pemerintahan sebagai representasi sistem politiknya. Sistem politik pertama kali diterapkan dalam pemerintahan Indonesia adalah Pemerintahan presidensil. Kemudian pada 3 Nopember 1945, sistem multi partai mulai diterapkan di Indonesia. Kemudian pada 14 Desember pemerintah  mengeluarkan maklumat tentang konvensi kearah sistem demokrasi liberal parlementer dengan pembentukan kabinet parlementer dibawah pimpinan perdana menteri Sutan Syahrir.

Demokrasi liberal parlementer secara formal berakhir pada 5 Juli 1959. Dalam sistem demokrasi liberal ini terdapat beberapa ciri utama sebagai identitas sistem tersebut. Sukarna (1990) menyebutkan ciri-ciri tersebut adalah:

Ciri Ciri demokrasi Liberal Parlementer

  • Adanya pembagian kekuasaan (devision of Power)

Sistem demokrasi liberal ini berlangsung dalam tiga periode perundang undangan yaitu UUD 45 tahap pertama, Konstitusi RIS dan UUDS 1950. dalam sistem ini Pada prakteknya menganut teori Trias Politica-nya Montesquieu walaupun tidak sepenuhnya. Dalam hal ini kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh parlemen (perwakilan rakyat), kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh perdana menteri beserta kabinetnya dan kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung. Presiden sebagai kepala negara tidak mempunyai kekuasaan, hanya melaksanakan sebagian kekuasaan yudikatif berdasarkan persetujuan mahkamah agung. kabinet bertanggung kepada parlemen, parlemen mempunyai kekuatan Social kontrol melalui mosi tidak percaya yang sewaktu-waktu dapat digunakannya untuk mengganti kabinet.

  • Pemerintahan Konstitusional dan berdasarkan pada hukum (rule of Law)

Secara garis besar terdapat tiga konstitusi pada masa pelaksanakan demokrasi liberal perlementer (1945 – 1959), UUD 45 periode pertama, Konstitusi RIS dan UUDS 1950. dalam periode tersebut kematangan Demokrasi liberal parlementer baru dirasakan pada masa UUDS 1950. pada masa demokrasi liberal ini konstitusi tertinggi adalah UUDS 1950. dalam UUDS ini disebutkan:

  1. Falsafah negara adalah pancasila
  2. Struktur lembaga-lembaga negara adalah Parlemen, Kabinet, Mahkamah Agung, presiden dan pengawas keuangan serta konstituante.
  3. Adanya pasal untuk merubah UUD
  4. Hak-hak asasi manusia

Rule of law / penegakan hukum didasarkan pada:

  1. Supremacy of law (Hukum sebagai yang tertinggi)
  2. Equality before the law (persamaan di depan  hukum)
  3. Protection of Human rights (perlindungan terhadap hak asasi manusia)
  4. Manajemen terbuka

Keterbukaan sistem demokrasi liberal ini ditandai oleh partisipasi masyarakat dalam input politik (bandingkan dengan kapabilitas responsif), pertanggung jawaban pemerintah terhadap rakyat, dukungan rakyat kepada pemerintah dan yang utama adalah adanya kontrol sosial dari masyarakat.  Dengan konsep tersebut akan tercipta sebuah sistem yang demokratis

Dampak Demokrasi Liberal secara positif dan negatif bagi bangsa Indonesia -  Hukamnas.com
hukamnas.com
  • Sistem multi partai

Maklumat pemerintah pada 3 Nopember 1945 yang mengesahkan sistem Multi partai menstimulus lahirnya beberapa partai politik dalam masa demokrasi liberal parlementer. Setidaknya terdapat 20 partai politik yang ikut mewarnai demokrasi liberal pada waktu itu. Sistem multi partai waktu menjadi salah satu kelemahan demokrasi liberal. Pertentangan Ideologi antar partai dapat menghambat pelaksanaan program-program palemen yang merupakan perkumpulan perwakilan dari partai politik[1].

baca juga: Struktur Politik : mesin politik formal dan Informal

Demokrasi terpimpin

Demokrasi Liberal tidak dapat mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Bertolak dari pandangan inilah presiden Soekarno menilai bahwa UUDS telah menyimpang dari cita-cita luhur proklamasi 1945. Melalui dekrit presiden 5 juli 1959 presiden Soekarno menyatakan kembali kepada UUD 45. peristiwa inilah ditengarai sebagai masa berakhirnya masa demokrasi liberal dan dimulainya demokrasi terpimpin. Pada perkembangan selanjutnya, demokrasi terpimpin ini di tengarai sebagai masa nasionalisasi bangsa Indonesia. Demokrasi terpimpin ini juga diikuti oleh Ekonomi terpimpin, sebagai konsepsi pelaksanaan demokrasi terpimpin yang pada akhirnya mengarah pada etatisme[2].

BACA JUGA  Teori Hiperrealitas (Jean Baudrillard - 1929)
Demokrasi Terpimpin : sistem politik di indonesia dalam perspektif historis
gurupendidikan.com

Selanjutnya Presiden Soekarno menyampaikan Pidato pada 17-8-1859 yang kemudian di kenal dengan istilah Manipol USDEK, Manipol berarti Manifesto politik (Manifesto=inti sari) dan USDEK adalah:

U         : UUD 45

S         : Sosialisme Indonesia

D         : Demokrasi terpimpin

E         : Ekonomi terpimpin

K         : Kepribadian Indonesia

Peristilahan diatas merupakan simbol kekuatan orde lama/demokrasi terpimpin. Selain itu semboyan politis tersebut merupakan semangat nasionalisme dan sosialisme bangsa indonesia pada waktu itu[3].

Pelaksanaan demokrasi terpimpin ini didasarkan pada bahwa setiap warga negara diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, bangsa dan negara. Dan semua orang berhak mendapat penghidupan yang layak dalam mayarakat. Masa demokrasi terpimpin ini melahirkan kabinet yang didukung kekuatan partai Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom). Kondisi demikian menempatkan partai komunis dalam posisi yang strategis, bahkan hal ini diatur dalam UU No.18 tahun 1965 yang menekankan keharusan keterlibatan unsur Nasakom dalam penunjukan anggota DPRD[4].

Orde Baru

Sebagimana sistem politik sebelumnya, masa orde baru berusaha mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 45. dalam masa ini pemerintah mencoba mencari format baru pemerintahan dengan memperkenalkan Demokrasi-Pancasila. Secara konseptual dan teoritis sistem demokrasi pancasila menempatkan segala aktifitas Supra struktur yang mencakup badan legislatif, eksekutif dan yudikatif dan badan tinggi negara lainnya serta infra struktur politik sebagai pelaksana amanat pancasila dan UUD 45. benarkah demikian?

Demokrasi terpimpin yang memberi ruang lebih pada partai komunis melahirkan pertentangan di antara para elit politik pada masa itu, terlebih menjelang wafatnya presiden Soekarno. Kondisi demikian dimanfaatkan oleh Partai komunis untuk melakukan kudeta terhadap dewan jenderal yang dinilai akan menghambat rencana partai mereka. Pada 30 September 1965 PKI melakukan pembunuhan terhadap dewan jenderal di Lubang Buaya jakarta.

Pasca Kudeta ini, kekuasaan tertinggi panglima Angkatan Darat diambil alih oleh Mayjen Soeharto yang semestinya dijabat oleh Letjen Pranoto yang telah ditunjuk oleh Presiden Soekarno. Mayjen Soeharto mengumumkan diri malalui RRI yang telah dikuasai sebelumnya. Dengan menakut-nakuti presiden Soekarno agar menyingkir ke Bogor Mayjen Soeharto meminta Surat Perintah Sebelas Maret untuk mengendalikan keadaan dan seakan-akan menjadi pahlawan walaupun sebenarnya keadaan telah aman dan terkendali.

Untuk menampilkan kesan konstitusional, dikeluarkanlah ketetapan MPRS nomor XXXIII/MPRS/1967 yang menetapkan pencabutan kekuasaan dari tangan presiden Soekarno dan pemegang ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 diangkat menjadi presiden yaitu Jenderal Soeharto. Selanjutnya dengan manuver politiknya Soeharto ditetapkan sebagai presiden RI melalui ketetapan MPR sebagai berikut:

Tap MPR No IX/1973 Hasil Pemilu 1971

Tap MPR No X/1978 Hasil Pemilu 1977

Tap MPR No VI/1983 Hasil Pemilu 1982

Tap MPR No V/1988 Hasil Pemilu 1987

Tap MPR No IV/1993 Hasil Pemilu 1992

Dengan menunjuk anggota MPR khusus dari unsur utusan daerah dan utusan golongan (para Gubernur, Panglima komando daerah militer, Rektor PTN dan menteri kabinet) dan kroni-kroninya Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaannya hingga reformasi bergulir.

Eksistensi kekuasaan Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari strategi pemenangan partai Golongan Karya. Dengan partai Golkar ini orde baru melanggengkan kekuasaannya. Berbagai manipulasi politik dilakukan, alat utamanya adalah militer dan birokrasi. Untuk memuluskan niatnya dilakukan pemerintahan yang sentralistik. Bahkan pada waktu itu Gubernuh, Wali kota, bupati, camat dan kades merupakan pembina partai Golongan Karya di daerahnya.

BACA JUGA  Teori kebenaran dalam perspektif Filsafat

Pada masa orde baru ini partai politik disederhanakan menjadi tiga, yaitu Golkar, PPP (Fusi dari NU, PMI, PSII dan Perti), dan PDI (fusi dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI dan Partai Murba) walaupun sesungguhnya hasil pemilihan Umum tidak lebih dari sekedar rekayasa. Pada masa orde Baru ini kekuasaan militer lebih ditonjolkan. Fungsi militer/angkatan bersenjata yang pada mulanya sebagai alat mempertahankan kedaulatan negara beralih menjadi alat mempertahankan kekuasaan orde baru. Berbagai insiden yang melibat militer kerap kali terjadi di masa orde baru. Hal ini menunjukkan pemanfaatan kekuatan militer sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan.

Sebagai kompensasi bagi jajaran ABRI, dengan dalih menjaga kesatuan dan persatuan bangsa serta kemurnian pancasila dan UUD 45 ABRI ikut berpolitik. Realita ini dianggap sebagai salah satu pengabdian ABRI kepada bangsa dan negara yang kemudian dikenal istilah Dwi fungsi ABRI. Bahkan lebih dari itu, untuk menjadi gubernur atau Bupati, DPRD maupun Mendagri akan mempermudah golongan ABRI untuk menempati jabatan tersebut[5].

baca juga: Tipe Budaya Politik, manakah budaya politik kita?

Otoriterisme Orde Baru

Untuk melanggengkan kekuasaan orde baru melakukan beberapa langkah strategis. Diantaranya;

  1. Pembentukan Lembaga Represif

Lembaga ini dijadikan sebagai formalitas dalam pengamanan kebijakan dan langkah politis orde baru. Pemantauan kehidupan sosial politik juga dilakukan dengan lembaga ini. Lembaga ini diberi kewenangan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk menekan lawan-lawan politik orde baru.

Diantara lembaga represif orde baru adalah KOPKAMTIB (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), OPSUS (Operasi Khusus) dan BAKIN (Badan Inteligen Negara). KOPKAMTIB dijadikan alat dalam rangka nihilisasi terhadap PKI. Pasca PKI, KOPKAMTIB dijadikan alat untuk mengahdapi individu yang kritis terhadap pemerintahan orde baru. OPSUS pada mulanya dijadikan alat untuk pemulihan hubungan dengan Malaysia dan integrasi Irian Barat. Akan tetapi pada akhirnya OPSUS menjadi alat yang efektif untuk menjinakkan kekuatan politik lawan penguasa orde baru. Hal ini dapat dilihat pada keterlibatannya dalam Kongre Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1969. OPSUS berhasil memaksakan Hadisubeno untuk menjadi ketua umum menyingkirkan Mr. Hardi yang di jagokan peserta kongres. Begitu juga dalam kongres Partai Muslimin Indonesia (PMI). BAKIN bergerak dibidang penysusupan dan identifikasi terhadap individu dan kelompok penentang orde baru.

  • Depolitisasi masyarakat

a.1. Sistem Massa mengambang

a. 2. Pemilu sebagai legitimasi formal

a. 3. pengebirian Parpol

a. 4. Kontrol politik

a. 5. Dominasi Militer dan Birokrasi

Depolitisasi yang dilakukan orde baru dengan cara membatasi kegiatan partai politik lawan (PPP dan PDI). Kegiatan kedua Parpol tersebut sangat dibatasi sehingga tidak bersinggungan langsung dengan masyarakat bawah. Sehingga tidak ada ikatan emosional antara Parpol dan massa pendukungnya. Kondisi demikian dimanfaatkan oleh Golkar dengan berbagai kegitan sosialnya untuk menanamkan hegemoni kepada masyarakat yang sebelumnya telah mengambang dari mendukung Parpol lawan. Untuk menanamkan kesan konstitusional dan legitimasi pemerintah orde baru melaksanakan pemilu yang sebenarnya hanya formalitas untuk mendapat legitimasi. Pemilihan Umum masa orde baru penuh dengan nuansa politik karena pemenangnya sudah ditentukan sebelumnya. Untuk memudahkan kontrol dan pengendalian partai politik, jumlah partai politik disederhanakan menjadi tiga parpol. Disamping itu, orde baru juga memanfaatkan ABRI dan birokrasi untuk melanggengkan kekuasaannya[6].

Sebagaimana rezim-rezim sebelumnya, tidak ada rezim yang abadi. Mau tidak mau, suka ataupun tidak sejarah terus berjalan orde baru akhirnya kehilangan kepercayaan dari masyarakat pada akhirnya menuntut penguasa sentral orde baru Soeharto untuk mundur dari jabatan Presiden. Runtuhnya rezim Orde Baru ini ditandai sebagai awal kebangkitan orde reformasi[7].

BACA JUGA  2 Trik Sulap Matematika - cara mudah belajar matematika

Era Reformasi

Pernyataan mundur dari presiden Soeharto pada Mei 1998 disambut bangsa Indonesia terutama di jakarta dengan tumpah ruah di jalan sebagai ekspresi kebahagiaan atas keberhasilan dari demonstrasi sebelumnya. Secara konstitusional wakil presiden BJ. Habibie menggantikan kedudukan Presiden Soeharto.

Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan.

Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999[8].

Pada masa kepemimpinan Habibie ini dilaksanakan pemilihan Umum yang pertama kali dinilai paling demokratis. Kali ini partai politik peserta Pemilu mencapai 48 Partai politik, meskipun hanya 21 Parpol yang mendapat bagian kursi di DPR RI

Hasil pemilihan Umum 1999 menempatkan PDIP sebagai parpol dengan suara terbanyak meskipun tidak mutlak. Golkar sebagai partai bentukan Orde Baru masih mampu bersaing bahkan mengalahkan partai bentukan tokoh reformis Amien Rais. Melihat kenyataan ini Amien mengatakan bahwa bangsa ini belum cukup pintar untuk mengerti arti demokrasi di negara  sebesar Indonesia.

Pasca Pemilu Sidang Istimewa MPR RI pun digelar dibawah kepemimpinan Amien Rais. Dalam sidang ini MPR menolak pertanggung jawaban Presiden Habibie. Dengan demikian Golkar Kehilangan calon presiden mereka. Kondisi demikian dimanfaatkan oleh poros tengah pimpinan Amien Rais untuk mengarahkan suara golkar pada Gus Dur dari pada ke Megawati. Akhirnya Gus Dur Naik menjadi presiden Republik Indonesia yang Ke IV. Pada masa pemerintahan Gus Dur inilah Dwi Fungsi ABRI dicabut untuk melemahkan kekuatan mereka yang memang sudah ingin berparadigma baru.

Selama menjabat presiden Gus Dur dikenal Kontroversional, contoh konflik-konflik yang diciptakan oleh Gus Dur adalah:

  1. Pembubaran MPR melalui dekrit presiden yang menurut Amien Rais hal itu bersifat Inkonstitusional
  2. Pencalonan Muladi dan Bagir Manan sebagai ketua MA adalah tidak tepat karena mereka masih terikat dengan kasus masa lalu. Sedangkan menurut Akbar Tandjung hal ini terlalu mencampuri urusan Legislatif dan Yudikatif.
  3. Ryaas Rasyid yang anti Federalisme justru dikasih jabatan menteri otonomi daerah
  4. Khofifah yang menghendaki emansipasi melalui pembubaran menteri peranan wanita, justeru diberi jabatan menteri pemberdayaan perempuan.

Kontroversional Gus Dur ini oleh sebagian orang dinilai sebagai keahliannya dalam manajemen konflik. Dalam manuvernya beliau sengaja melemahkan eksekutif untuk menimbulkan isu-isu yang menghimpun massa sebagai kekuatan.

Kepemimpinan Gus Dur akhirnya berakhir dengan digulingkannya beliau dari kursi kepresidenan. Isu bullogate dan Bruneigate yang dikonstitusionalkan dijadikan alasan untuk mengeluarkan Memorandum I dan Memorandum II kemudian Sidang Istimewa MPR yang berakhir dengan pelengseran Gus Dur. Dengan demikian Megawati sebagai Wakil Presiden secara konstitusional menggantikan kedudukan Gus Dur sebagai Presiden. Reformasi tidak hanya sampai disini, akan tetapi terus berlangsung hingga saat ini[9].


[1] Sukarna, Op.cit., 10-18

[2] Inu Kencana, Op.cit., 41-42

[3] Sukarna, Op.cit., 45

[4] Inu Kencana, Op.cit., 42-43

[5] Ibid., h. 43-51

[6] Syaukani dkk, Otonomi daerah dalam Negara kesatuan (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002) h. 127-137

[7] Inu Kencana, Loc.cit.,

[8] Sejarah Indonesia (1998-sekarang) – http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia. diakses pada 09 Juli 2008, jam 10.00

[9] Inu Kencana, op.cit., h. 51-55

Erlina Novita
Erlina Novita
Articles: 2

Leave a Reply