Budaya Nyadran
Mengingat betapa pentingnya belajar dari sejarah. Disini saya akan menjelasakan salah satu kearifan lokal daerah kab. Bojonegoro yaitu tradisi “NYADRAN”. Yakni daerah desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, Kab. Bojonegoro. “NYADRAN” yang biasa dikenal dengan tradisi sedekah bumi dengan menggelar tahlil di daerah pemakaman /sungai/sawah. Untuk mengenang, menghargai, dan mempercayai adanya tokoh leluhur di daerah tersebut dan tentunya berdoa kepada Allah SWT.
Mbah sorgino namanya, tokoh leluhur yang di percayai sebagai nenek moyang desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, Kab. Bojonegoro. Tradisi “NYADRAN” biasanya dilakukan saat memasuki musim hujan, tandur pari (menanam pari), dan saat musim panen padi. Tradisi “NYADRAN” begitu melekat dengan tanaman padi dan untuk memohon do’a kepada Allah SWT. Agar padi yang di tanam masyarakat setempat tumbuh subur dan terhindar dari segala hama yang merusak tanaman padi tersebut, dan utamanya agar mendapat barokah dari Allah SWT.
Baca juga: Misteri makam tua, tradisi dan mitos Desa Pagerwojo
Prosesi Nyadaran
Untuk saat prosesi “NYADRAN” itu sendiri, seluruh masyarakat berbondong- bondong menuju tempat prosesi tersebut dengan membawa aneka jajanan kuno khas pasaran seperti (Tape, jadah, kue kucur) dan tak lupa semua perangkat desa juga turut hadir mengikuti prosesi “NYADRAN” untuk membawa makanan tersebut dengan cara di ikat di gundukan kerucut berbentuk tumpeng lalu di pikul menuju ke pepunden akam Mbah Sorgino. Dan tak lupa juga dengan membawa makanan khas bojonegoro, yaitu “SEGO BUWUHAN” (Nasi hajatan).
“SEGO BUWUHAN” itu sendiri juga di kenal dengan nasi yang ada pada saat seseorang mempunyai hajatan, seperti Nikahan, Khitanan, dll. Makanan yang mempunyai cita rasa enak dan gurih ala pedesaan, akhir akhir ini juga mendapatkan rekor muri pada saat prosesi peresmian jembatan baru di Kab. Bojonegoro yaitu jembatan “SOSRODILOGO“. Nama jembatan itu sendiri di sadur dari nama pahlawan dari bojonegoro itu sendiri.
Jembatan yang membentang dan penghubung dari Desa Klangon (Power area) dengan Desa Trucuk (Millitary base). Dengan di suguhi pemandangan apik dari sungai bengawan solo itu sendiri.Saat prosesi prosesi peresmian jembatan “SOSRODILOGO” tersebut, dengan menyajikan 1000 nasi buwuhan untuk di santap bersama seluruh masyarakat Bojonegoro. Dan tak lupa pada saat prosesi peresmian jembatan baru tersebut, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Bojonegoro juga menampilkan tarian khas Bojonegoro, yaitu “TARI THENGUL”.
“TARI THENGUL” itu sendiri memiliki keunikan tersendiri dari tata rias pada penarinya yang menyerupai wayang thengul, yang kini budaya wayang thengul sendiri itu hampir tenggelam terkikis dengan seiring zaman yang semakin canggih. Tata riasnya menunjukkan mimik muka unik yang mengeluarkan aura humoris bagi orang yang menyaksikannya.
Menurut sumber sejarah yang ada, “TARI THENGUL” di ciptakan oleh JOKO SUTAWA dan IBNU SUTAWA pada tahun 1991. “TARI THENGUL” biasanya di tampilkan oleh 7 orang penari putri dengan kostum dan tata rias seperti wayang thengul. Dengan metode gerakan kaku yang terlihat seperti layaknya wayang sungguhan.
Akan tetapi, beda dengan penampilan “TARI THENGUL” pada saat peresmian dan peringatan HUT KAB. BOJONEGORO TAHUN 2019. Dinas pariwisata dan kebudayaan Kab. Bojonegoro menanmpilkan 1000 penari yang tampil pada saat acara ceremonial tersebut. Dalam pertunjukannya di awali dengan buka gender, dan dilanjutkan slantem bersama oklik, kemudian penari keluar dengan berjalan seperti pinokio dan dilanjutkan dengan buka cluluk, jogeddan, playon, guyonan.
Dan kemudian di tutup dengan kayon. Dalam pertunjukkan “TARI THENGUL” tersebut juga diiringi alat musik tradisional seperti Oklik, ithik-ithik, biola, dan gamelan laras sendro. Selain musik pengiring juga di iringi dengan tembang senggakan. Â Dengan masih adanya tradisi adat tersebut, kita sebagai generasi millenial penerus bangsa bisa memperkenalkan dan menjunjung tinggi nilai kebudayaan dan kearifan lokal kita (Rakyat Indonesia) di kancah internasional, dan agar bisa menghargai
BY: ZULFIKAR ILMI PUTRA P