Book on desk with Literacy word written on wooden cubes

New: Landasan Epistemologis dalam filsafat Ilmu

Diposting pada

landasan epistemologis dalam filsafat ilmu merupakan satu sudut pandang dalam menelusuri hakekat kebenaran dan pengetahuan. sumber sumber kebenaran dan bagaimana kebenaran dianggap sebagai kebenaran dalam kehidupan ini.

Landasan Epistemologis ini merupakan sudut pandang pengembangan ilmu dengan titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas cara/prosedur dan kaidah bagaimana memperoleh kebenaran. Yaitu kaidah ilmiah untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan. Secara garis besar dibedakan menjadi dua yaitu metode siklus empiris untuk ilmu pengetahuan alam dan metode linier untuk ilmu sosial.

Metode siklus empiris merupakan metode yang dikembangkan untuk penyelidikan kebenaran pengetahuan ilmu-ilmu alam. metode ini biasanya meliputi observasi, penerapan metode induksi, eksperimen kemudian verifikasi yang kemudian menghasilkan teori.

Sedangkan metode linear meliputi langkah-langkah persepsi yaitu penangkapan inderawi terhadap realitas. Kemudian disusun sebuah konsepsi dan terakhir merupakan analisis yang menghasilkan ramalan atau prediksi untuk masa yang akan datang (Surajiyo, 2008:48).

Istilah Epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Feriere (1854) dalam menjelaskan diferensiasinya dengan ontologi. Permasalahan dalam epistemologi ini berkaitan dengan sesuatu yang diketahui. Secara etimologis Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Episteme yang berarti pengetahuan dan Logos yang berarti pikiran atau teori.

Dengan demikian epistemologi secara bahasa dapat diartikan sebagai teori pengetahuan. Bahasa filsafat menyebutnya sebagai filsafat pengetahuan, logika material, kriteriologia, kritika pengetahuan dan  gnoseologia.

republika.com

Landasan Epistemologis: Objek Epistemologi

Objek epistemologi adalah pengetahuan itu sendiri. Bagaimana pengetahuan tersebut diperoleh serta dari mana sumbernya. Secara sistematis epistemologi membicarakan arti pengetahuan, terjadinya pengetahuan, jenis-jenis pengetahuan serta asal usulnya.

Analoginya; ketika manusia dilahirkan dia tidak dilengkapi dengan pengetahuan, kemudian mempunyai pengetahuan sederhana dan pengetahuan tersebut bertambah terus seiring dengan bertambahnya usia, pengalaman dan sosioalisasi serta kemampuan rasionalnya. Pengetahuan masing-masing individu berbeda-beda. Bagaimana seseorang memperoleh pengetahuan dan hakekatnya merupakan bahasan dalam epistemologi ini (Ahmad Tafsir, 2003: 23). 

Sistematika epistemologi yang pertama adalah pemahaman terhadap makna pengetahuan itu sendiri. Istilah pengetahuan ini mengorganisir beberapa unsur yang saling terkait dan mengikat. Pengetahuan melibatkan yang mengetahui, sesuatu yang diketahui dan kesadaran atas pengetahuan itu sendiri. Mundiri (2008) mensyaratkan adanya keyakinan dan tiadanya keraguan dalam pengetahuan.

Berkaitan dengan pengetahuan, tidak dapat dipisahkan dari alam pikiran. Karena dengan pikiran (wilayah kognitif) sebuah pengetahuan dibangun dan ditanamkan dalam jiwa, dengan demikian interrelasi antara pikiran dan pengetahuan merupakan sebuah keharusan fungsional dan kodrati.

Sebuah pikiran untuk dapat menghasilkan dan menampung pengetahuan mempunyai struktur yang terbentuk dari beberapa unsur yang fungsional. Unsur-unsur tersebut adalah Mengamati (observasi), Menyelidiki (Inquires), Percaya (believes), hasrat (desires), maksud (intends), mengatur (organizes), menyesuaikan (adapts) dan menikmati (enjoys) (Surajiyo, 2008: 26-28).

Pengetahuan yang terorganisir dalam alam pikiran manusia tidak terjadi begitu saja. Terwujudnya suatu pengetahuan dapat melalui pengalaman (a posteriori) ataupun tanpa pengalaman (a priori). Dari dua jalan tersebut dapat dikembangkan menjadi beberapa kaidah terjadinya pengetahuan. John Hospers dalam Surajiyo (2008) menjelaskan bahwasanya terdapat beberapa hal yang mendasari terjadinya pengetahuan. Sistematika terjadinya pengetahuan dapat dijelaskan sebagai berikut (John Hospers):

1. Pengalaman Indera (sense of experience)

Indera merupakan alat yang vital dalam diri manusia untuk mendapatkan pengetahuan dari luar diri manusia itu sendiri. Dalam filsafat ini disebut sebagai faham “realisme”. Menurut Aristoteles pengetahuan yang membekas dalam wilayah kognitif manusia merupakan bekas-bekas sesuatu yang ditangkap oleh indera.

Contoh: seseorang mengetahui kalau api itu panas karena dia pernah menyentuhnya. Atau gula itu manis karena sebelumnya pernah mencicipinya. Kelemahan perspektif ini adalah apabila terjadi ketidak normalan dalam indera itu sendiri, sehingga objek yang ditangkap tidak sesuai dengan realitanya.

2. Nalar (reason)

Kaidah terjadinya pengetahuan ini merupakan penggabungan dari dua pemikiran atau lebih yang kemudian dijadikan pengetahuan baru. Dalam kaidah ini terdapat beberapa hal prinsipil yang harus diperhatikan. Untuk menghasilkan pengetahuan melalui nalar ini harus mengikuti azaz-azaz pemikiran sebagai berikut;

Principium identitas dimana konsep sesuatu itu pasti sama dengan sesuatu itu sendiri ( X=X).

Principium Contrdictionis apabila terdapat pertentangan antara dua pendapat maka dapat dipastikan tidak mungkin keduanya sama-sama benar dalam waktu bersamaan.

Principium tertii exclusi dalam pertentangan antara dua pendapat selain tidak mungkin keduanya sama-sama benar, juga tidak mungkin keduanya sama-sama salah. Artinya pasti terdapat kebenaran diantara keduanya. Dengan demikian tidak perlu ada pendapat yang ketiga.

3. Otoritas (Authority)

          Merupakan kewenangan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dalam kelompoknya dan diakui oleh anggota kelompoknya. Otoritas ini dapat menjdi sumber pengetahuan karena dengan otoritas tersebut anggota kelompok dapat mempunyai pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya. Biasanya pengetahuan jenis ini tidak perlu diuji coba karena kewibawaan sumber pengetahuan tersebut.

4. Intuisi (intuition)

          Jiwa setiap manusia mempunyai potensi kemampuan untuk menghasilkan pengetahuan tanpa melalui sistematika rasional ataupun pengalaman. Pengetahuan ini berasal dari proses kejiwaan untuk memaksimalkan potensi kejiwaan dalam diri manusia sehingga mampu menghasilkan pengetahuan tanpa stimulus sebelumnya. Pengetahuan jenis ini tidak dapat dibuktikan seketika kebenarannya karena pengetahuan ini lebih mengedepankan rasa dalam jiwa.

5. Wahyu (relevation)

          Terjadinya pengetahuan dengan jalan wahyu ini bersumber pada keyakinan/kepercayaan. Pengetahuan ini tidak mengedepankan rasionalitas, karena pengetahuan tersebut diyakini bersumber dari tuhan dalam kepercayaan tersebut.

6. Keyakinan (faith)

          Hampir sama dengan pengetahuan melalui wahyu, karena keduanya berpangkal pada sebuah kepercayaan. Akan tetapi pengetahuan keyakinan ini belum tentu diyakini dari tuhan. Bisa saja keyakinan muncul begitu saja dalam diri seseorang (Surajiyo, 2008: 28-30).

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan