logika, bahasa dan penemuan kebenaran merupakan kesatuan yang membentuk ucapan-pengertian yang memberikan pemahaman, dapat diterima oleh akal budi. oleh karena itu, kita perlu memahami logika, bahasa dan penemuan kebenaran untuk mendapatkan pengertian yang utuh.
Memahami Logika: Arti dan sejarah singkat
Secara etimologi Logika berasal dari kata Yunani Logike, Latin Logica, Inggris Logic yang mengandung pengertian suatu ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis dan dapat dimengerti (Lorenz Bagus, 2005:519). Makna etimologi ini sepadan dengan kata mantiq dalam bahasa arab, yang berarti penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode berpikir benar.
Irving M. Copin dalam Mundiri (2008) mendefinisikan Logika sebagai ilmu yang mempelajari Metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah. Definisi ini sejalan dengan definisi dalam Sumaryono (2008)
Logika sebagai ilmu metode berpikir sudah ada sejak masa Yunani Kuno. Sejarah mencatat Kaidah-kaidah Logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium (108 SM). Akan tetapi perintis kaidah-kaidah logika adalah sudah ada jauh sebelum Zeno, yaitu Sokrates dan Plato yang hidup sekitar tiga Abad sebelum Zeno.
Perkembangan logika mencapai masa keemasan dibawah pengaruh Aristoteles yang kemudian dikenal sebagai perintis Logika sebagai Ilmu pengetahuan yang kemudian didukung oleh Theoprostus dan Kaum Stoa (Mundiri, 2008: 2).
Istilah Logika sendiri sebenarnya tidak pernah digunakan oleh Aristoteles, akan tetapi Aristoteles menyebutnya sebagai Analysis. Dimana proses dan kaidah Analysis menjadi dasar dari logika sebagai ilmu pengetahuan. Aristoteles meninggalkan Enam buah Buku yang kemudian oleh para Muridnya di beri nama To Organon yang berarti perangkat, alat untuk mencapai pengetahuan filosofi Lorenz Bagus, 2005: 528).
To Organon karya Aristoteles ini terdiri dari enam buku, yaitu categoria berkaitan dengan pengertian-pengertian), De Interpretatiae yang berisi keputusan-keputusan, Analitica Priora tentang Silogisme, Analitica Posteriora tentang pembuktian, Topica berisi cara berdebat dan De Sophisticis Elenchis yang membicarakan tentang kesalahan-kesalahan berpikir.
Karya Aristoteles ini kemudian dikembangkan Oleh Theoprostus, sedangkan kaum Stoa menambahkan bentuk-bentuk berpikir yang sistematis. Komplikasi dari karya Aristoteles, pengembangan Theoprostus dan sistematika kaum Stoa ini pada kahirnya mendasari Logika Tradisional (mundiri, 2008: 3).
Salah satu penerus Logika Aristoteles adalah Mazhab Peripatetik yang bersaing dengan Mazhab Megarian-Stoa. Mazhab Megarian-Stoa mengembangkan kaidah yang mirip dengan Kalkulus Proporsional. Konsepnya sekitar hubungan-hubungan yang bertipe “ Jika………. maka,,,. Selain dua mazhab diatas, berkembang juga mazhab Epikurean, menurut mazhab ini Koneksi logis berawal secara empiris yang kemudian menjadikan berproses secara induksi atau analogis. Masa antara abad 8 – 12 M, Abelardus menyusun empat risalah mengenai logika.
Abad ke 13 M, Logika Manual dimunculkan oleh William dari Sherwood. William mengkaji tentang Proposisi Konjungtif, disjungtif dan kondisional. Selain itu Wiliam juga menganalisis “danâ€, “atauâ€, “tidakâ€, “jikaâ€, “setiapâ€, “kecualiâ€, “hanya†dikaitkan dengan dia.
Dalam abad yang sama Petrus Hispanus dari Spanyol menulis buku Summulae logicales, sebuah buku pedoman logika yang berisi analisis-analisis tentang proposisi, predikabilia, kategori, silogisme, topik, kekeliruan, suposisi, relasi, ampliasi, apelasi, restriksi dan distribusi dengan sudut pandang yang mirip dengan William.William dari Ockham, menyusun studi sistematis tentang term, proposisi, dan argumen (Lorenz Bagus, 2005: 520-522).
Perkembangan Logika pada abad XVII-XVIII di bawah pengaruh Francis Bacon dengan metode induktifnya, Leibniz dengan logika Aljabar, Emanuel Kant dengan Logika Transendentalnya. Pada Abd XIX Logika mengalami pergeseran orientasi menjadi sekedar peristiwa Psikologis dan Metodis dibawah pengaruh W. Wund dan John Dewey (Mundiri, 2008: 4).
Pembagian Logika
Pembagian Logika dapat didasarkan pada beberapa hal, dari segi kualitasnya, logika dibagi menjadi dua,
Logika Naturalis merupakan kemampuan berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia. Setiap orang mempunyai kemampuan untuk membedakan sesuatu. Kemampuan untuk membedakan sesuatu ini merupakan kemampuan logika terendah.
Keterbatasan akal manusia menyebabkan keterbatasan dalam menalar sesuatu, oleh karena itu akal manusia membutuhkan kaidah-kaidah yang membantu manusia untuk berlogika secara naturalis yang kemudian melahirkan kaidah-kaidah logika yang disebut Logika Artifisialis yang merupakan varian kedua dari Logika.
Logika Artifisialis atau logika ilmiah ini, berfungsi untuk mempertajam, memperhalus dan “menunjukkan jalan pikiran†agar kemampuan logika naturalis dapat lebih teliti, efisien, mudah dan aman dari kesesatan berpikir.
Logika juga dapat dibedakan menjadi logika tradisional dan logika modern. Logika tradisional dimulai dari masa Aristoteles, sedangkan logika modern ditengarai bermula dari abad XIII (Mundiri, 2008: 15-16).
Dilihat dari esensinya, Logika di bagi menjadi tiga bagian, yaitu analisis konsep (kata), keputusan (proposisi) dan penyimpulan. Dalam logika Modern seringkali ditambahkan esensi keempat yaitu hakekat induksi. Dari sistematisasi berpikirnya, logika terbagi menjadi dua bagian yaitu logika deduktif dan logika induksi. Dari sekian banyak pembagian Logika pada dasarnya obyek yang dikaji adalah Pemikiran dalam hubungan antar ide-ide didalamnya (Lorenz Bagus, 2005: 527-528).
Baca juga: New: Memahami Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Bahasa
Bahasa merupakan salah satu sarana berpikir Ilmiah. Untuk menghasilkan pemikiran ilmiah secara holistik diperlukan asosiasi dari Bahasa ilmiah, Logika dan Matematika serta Logika dan statistika. Bahasa merupakan ungkapan pikiran atau perasaan sebagai alat untuk menyampaikan kepada orang lain dalam komunikasi. Bahasa mengandung dua esensi yaitu kata-kata dan sintaksis. Kata-kata merupakan pengungkapan atau simbol dari sesuatu, sedangkan Sintaksis adalah cara untuk menyusun kata-kata dalam kalimat sehingga mempunyai makna (Surajiyo, 2008: 38-39).
Pengertian bahasa menunjukkan pada sebuah sistem simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan obyek material eksternal, mental internal, kualitas, relasi, tanda logika matematika, fungsi, keadaan, proses dan kejadian. Meskipun bahasa adalah ungkapan “jiwa†akan tetapi tujuan utama bahasa adalah mendekripsikan dan mengkomunikasikan gagasan (Lorenz Bagus, 2005: 112-113).
Secara umum bahasa dibedakan antara bahasa lisan dan bahasa tertulis. Bahasa lisan terdiri dari pola-pola suara, sedangkan bahasa tertulis terdiri dari pola-pola visual. Secara esensial, bahasa mempunyai empat unsusr pokok, yaitu:
- Simbol, yaitu kata, nama, frase yang berfungsi untuk menyebut sesuatu
- Obyek, Benda yang disebut dengan simbol
- Referensi, yaitu makna yang menghubungkan antara simbol dan obyek yang disimbolkan
- Subyek, Individu/pelaku yang menciptakan simbol (Sumaryono, 2008: 27).
Bahasa sebagai ungkapan “jiwa†mempunyai fungsi yang variatif. Bagus Lorenz merumuskan fungsi bahasa sebagai fungsi Kognitif, Fungsi Emotif, Imperatif, Evaluatif, bertanya, performatif, magis, seremonial, ekspresif dan seruan (Lorenz Bagus, 2005: 117-118).
Fungsi lain dari bahasa adalah klasifikasi dalam Surajiyo (2008) yaitu fungsi Ekspresif, fungsi Afektif dan Fungsi Simbolik (Surajiyo, 2008: 41). Sedangkan Sumaryono melihat bahasa dalam fungsinya sebagai fungsi informatif, praktis, ekspresif, performatif, seremonial dan fungsi logis (Sumaryono, 2008: 30).
Penemuan Kebenaran

Kebenaran merupakan istilah yang menunjuk bentuk lawan dari kesalahan, kesesatan dan kepalsuan. Istilah ini dalam bahasa latin adalah Veritas sedangkan dalam bahasa Yunani adalah Aletheia (Lorenz Bagus, 2005: 412). kebenaran inilah yang menjadi fokus kajian filsafat. filsafat lahir karena berusaha mengungapkan kebenaran.
Kebenaran menunjuk pada beberapa makna, yaitu keadaan (sesuai dengan keadaan sesungguhnya), Sesuatu yang benar misalnya kebenaran ajaran agama, Kejujuran dll[1]. Hobbes memandang kebenaran sebagai pengaturan nama dengan tepat. Benar dan salah pada dasarnya merupakan atribut-atribut dari ucapan. Sedangkan Plotinus beranggapan bahwa kebenaran merupakan identitas (dalam arti kesamaan) antara pemikiran dan hal (Lorenz Bagus, 2005: 413-414).
Jenis-jenis kebenaran
Kebenaran sejak awal sudah diperdebatkan oleh para filsuf, baik sifatnya ataupun esensi dari kebenaran itu sendiri. Kaum sofis Yunani misalnya, yang beranggapan bahwa kebenaran bersifat relatif. Secara filosofis kebenaran dibagi menjadi tiga, kebenaran Epistemologikal, kebenaran ontologikal dan kebenaran semantikal.
Kebenaran Epistemologikal
Kebenaran Epistemologikal adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran ini berhubungan dengan proses cognitif intelektual manusia dalam memandang obyek baik yang konkret ataupun yang abstrak (esse reale rei). Apabila didapati sebuah kebenaran berarti dalam esse reale rei (obyek) tersebut terkandung intelligibilitas.
Kebenaran ontologikal
Kebenaran ontologikal yaitu kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada segala sesuatu yang dipandang mengandung kebenaran. Eksistensi intelligibilitas sebagai sifat dasar dalam esse reale rei itulah yang kemudian disebut kebenaran ontologikal (hakekat kebenaran). Sedangkan kebenaran semantikal adalah kebenaran yang berkaitan dengan bahasa. Kebenaran semantikal disebut juga kebenaran moral (moralis varitas).
Penuturan bahasa, tutur kata dapat saja bertolak belakang dengan kebenaran epistemologikal ataupun ontologikal, oleh karena itulah kebenaran ini dianggap sebagai kebenaran moralis, karena kebenaran semantikal tergantung pada manusia yang mempunyai kebebasan dalam menggunakan tutur kata dan bahasa tersebut (Surajiyo, 2008: 104).
Sifat-sifat kebenaran
Salah satu pembeda antar “yang ada†di dunia ini adalah karakteristik atau sifat dasar yang dilekatkan pada “yang ada†tersebut. Pemberian sifat atau karakteristik ini untuk memudahkan subyek lain dalam mengenali sesuatu tersebut.
Kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang ada dan melekat pada obyek (esse reale rei) mempunyai sifat-sifat yang membedakannya menjadi tiga hal:
Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan.
Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Pengetahuan dalam menghasilkan kebenaran bergantung pada bagaimana pengetahuan tersebut dibangun. untuk membedakan kualitasnya, pengetahuan dibedakan:
Pengetahuan biasa,
biasa disebut Common sense knowledge atau ordinary knowledge. Pada umumnya pengetahuan jenis ini mempunyai kebenaran yang bersifat subjektif. Kondisi demikian berlangsung selama sarana untuk memperolh kebenaran tersebut bersifat normal (tidak ada penyimpangan).
Pengetahuan ilmiah,
yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan metode tertentu yang disepakati ilmuwan dalam masing-masing disiplin ilmu. Kebenaran dalam pengetahuan ini bersifat relatif, artinya selalu mendapatkan perbaikan dari pengetahuan yang paling mutakhir.
Pengetahuan filsafat,
pengetahuan ini dihasilkan dengan pendekatan filsafati yang bersifat reflektif, radikal dan integral. Sifat kebenaran yang terkandung dalam pengethuan filsafati adalah absolut-intersubjektif. Artinya kebenaran yang dihasilkan selalu melekat pada pandangan seorang filsuf dan selalu mendapat pengakuan dari filsuf pengikutnya. Apabila pengetahuan tersebut dilihat dari perspektif filsafatnya filsuf lainnya, niscaya kebenaran yang dihasilkan akan berbeda dengan kebenaran pertama.
Kebenaran berkaitan dengan epistemologi pengetahuan.
Artinya kebenaran berkaitan dengan cara mendapatkan pengetahuan. Misalnya, apakah dengan cara penginderaan (sense experience), atau dengan rasio ataupun intuisi. Kebenaran dalam kategori ini bersifat relatif berdasaran metode epistemologi pengetahuan tersebut. Apabila ia membangun pengetahuan secara inderawi maka untuk membuktikan kebenarannya juga dengan cara-cara inderawi. Begitu seterusnya.
Kebenaran yang dikaitkan dengan relasi/hubungan antara subyek dengan obyek dalam pembangunan pengetahuan.
Dominasi subyek dalam pembentuan pengetahuan akan menghasilkan kebenaran yang bersifat subyektif. Begitu juga sebaliknya (Surajiyo, 2008: 103-104).