Kebijakan hilirisasi Nikel Indonesia merupakan upaya strategis pemerintah untuk meningkatkan Nilai tambah secara ekonomi. Dengan kebijakan ini berarti pemerintah akan membangun industri dalam negeri dalam rangka memaksimalkan potensi yang indonesia miliki agar bernilai ekonomi lebih tinggi. tujuannya adalah untuk memperkuat pondasi ekonomi dan pada 2045 mendatang indonesia menjadi 5 besar Negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia, demikian Ungkap Presiden Jokowi.
Potensi Sumberdaya Nikel Indonesia
Nikel merupakan salah satu minel sumber energi yang banyak dimanfaatkan dalam dunia Industri. Pada 2019, Produksi Nikel Dunia Mencapai 2.76 Juta Ton dan 800.000 Ton berasal dari Indonesia. Artinya 29.9% produksi Nikel dunia dikuasai Oleh Indonesia. Dengan data ini, Indonesia menempati urutan pertama Produsen Nikel dunia setelah Philipina (420ribu ton), Rusia (270ribu ton) dan Kaledonia (220 ribu Ton).

Kekayaan Sumberdaya Tambang dan Mineral indonesia tidak diragukan lagi. Pemetaan yang dilakukan oleh badan Geologi pada Juli 2020, Indonesia memiliki kekayaan Sumberdaya Nikel sebesar 11.887 Juta Ton dengan Rincian Tereka 5.0094 Juta Ton, Terunjuk 5.094 juta Ton, Terukur 2.626 Juta Ton, Hipotetik 228 juta ton.
Dengan kekayaan sumberdaya Nikel ini, dan didukung kebijakan hilirisasi Industrinya, maka Indonesia kedepannya akan menjadi salah satu negara dengan ekonomi terkuat dunia. hilirisasi dari hulu ke hilir yang memberikan nilai tambah yang tinggi, juga menyerap tenaga kerja, dan hal positif lain yang akan bisa diterima oleh Indonesia.
baca juga: Globalisasi – tantangan dan peluang bagi negara sedang berkembang
Kebijakan Hilirisasi nikel perkuat Industri dalam negeri
Pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk membatasi bahkan melarang Ekspor bahan mentah tambang untuk mengembangkan dan meningkatkan nilai ekonomi dari sumberdaya alam. Bahkan, presiden Jokowi meminta agar penghentian ekspor bahan mentah ini tidak hanya berhenti pada komoditas Nikel saja.
Hilirisasi sektor Mineral dan Batubara (minerba) telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). kewajiban hilirisasi pada industri pertambangan ditujukan untuk Meningkatkan nilai tambah hasil tambang. Dengan adanya hilirisasi, ekonomi masyarakat juga akan meningkat karena terciptanya lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan negara.
Dampak langsung yang didapatkan adalah penerimaan negara yang meningkat secara signifikan. Seberapa Siginifikan peningkatan nilai tambah dengan kebijakan ini? Dicontohkan bahwa Beberapa tahun silam Indonesia masih mengekspor nikel dalam bentuk bahan mentah yang nilainya hanya mencapai 1,1 miliar dolar. Setelah adanya smelter di tanah air dan pemerintah menghentikan ekspor bijih nikel, pada tahun 2021 ekspor nikel melompat 18 kali lipat menjadi 20,8 miliar dolar AS atau Rp300 triliun lebih.
Hal ini menunjukkan eksploitasi sumber daya alam serta proses pertukatan yang tidak seimbang antara negara sentral dan negara pinggiran menyebabkan tidak seimbangnya keuntungan yang didapatkan oleh masing-masing kelompok negara. Sebelum ada kebijakan hilirisasi, perolehan Indonesia dari Ekspor nikel hanya 1.1 Milyar dolar, namun setelah ada kebijakan terjadi kenaikan yang signifikan hingga mencapai 20 Milyar dolar.
Hilirisasi ini akan memberikan dampak Multiplier Effect dengan tumbuhnya ekonomi baik lokal maupun nasional. Harapannya, kebijakan ini tidak hanya berhenti pada pengolahan bahan setengah jadi. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, langkah langkah yang dilakukan mensyaratkan adanya pengolahan dan pemurnian hasil tambang (Smelter) dalam negeri. Pemerintah mewajibkan Perusahaan Kontrak Karya untuk melaksanakan kewajiban membangun Smelter dalam negeri. Sejauh ini, sejak 2019 terdapat 48 Proyek smelter Nikel yang diharapkan dapat beroperasi sepenuhnya pada 2024 mendatang.
Hal ini tentu saja harus didukung dengan kebijakan lain yang relevan. Kesiapan Sumberdaya Manusia merupakan salah satu faktor signifikan dalam hilirisasi nikel Indonesia. Sebagai upaya penyediaan sumberdaya manusia yang kompeten, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI) Kementerian Perindustrian menjalin kerjasama dengan PT. Huadi Nickel-Alloy melalui Memorandum of Understanding (MoU) dalam rangka pelaksanaan Program Kerja Sama Pendidikan Vokasi Industri Setara Diploma 1 (D1).
Untuk mendukung penyediaan tenaga kerja kompeten dalam negeri, BPSDMI juga meneyelenggarakan Pendidikan Diploma hingga Magister Terapan, pemerintah juga meningkatkan kerjasama dunia akademik dengan dunia Usaha (Dudi) melalui kebijakan merdeka belajar kampus merdeka. Upaya ini ditujukan Untuk mengurangi Competency Gap dunia industri dengan dunia pendidikan. Pada akhirnya akan tercipta SDM industri kompeten tanpa adanya program retraining oleh industri.
Polemik Internasional kebijakan Hilirisasi Nikel Indonesia
Kebijakan Hilirisasi nikel Indonesia meniscayakan adanya pembatasan dan pelarangan ekspor biji mentah Nikel. Kebijakan ini tentu saja cukup menggangu negara negara maju yang sebelumnya bergantung pada Ekspor Nikel Indonesia. Kebijakan ini, memantik protes negara negara Uni Eropa salah satunya dengan menggugat Indonesia melalui Organisasi perdagangan Dunia “World Trade Organization†(WTO).
Sebelumnya, kita ketahui bahwa untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia dalam mengelola sumberdaya Alam, pemerintah Indonesia dengan tegas melarang Ekspor hasil tambang mentah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 . penjualan mineral mentah ke luar negeri dapat dilakukan dalam jumlah tertentu dan dalam bentuk pengolahan
Gugatan Uni Eropa
Uni Eropa mewakili Negara negara eropa yang merasa dirugikan dengan adanya kebijakan larangan ekspor bahan mentah mineral oleh pemerintah indonesia. Mereka merasa keberatan dengan kebijakan Indonesia. Konsekwensi kebijakan pemerintah indonesia menjadikan negara negara eropa kesulitan mendapatkan bahan baku industri dan harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal.
Menurut Kleib, Duta Besar Indonesia Untuk PBB, Uni Eropa menggugat Indonesia Melalui WTO Mencakup 3 Point. Pertama terkait kebijakan pembatasan ekspor produk mineral khususnya Nikel biji besi dan Kromium. Kebijakan ini membuat negara negara eropa kesulitan mendapatkan bahan baku industri Stainless steel. Kedua Uni Eropa menggugat terkait kebijakan Insentif fiskal yang hanya diberikan kepada perusahaan baru atau yang melakukan pembaharuan pabrik. Ketiga Persoalan skema pembebasan pajak terhadap perusahaan yang memenuhi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Point ketentuan ketentuan tersebut dinilai melanggar beberapa pasal undang undang mereka.
Kebijakan pemerintah Indonesia dinilai melanggal pasal XI.1 GATT mengenai pelarangan dan pembatasan ekspor impor, Pasal 3,1 (b) Agreement on Subsidy and Countervailing Measures mengenai subsidi yang dilarang, dan Pasal X.1 GATT mengenai pelanggaran kewajiban transparansi peraturan.
Putusan Panel WTO menyatakan Indonesia melanggar ketentuan pasal pasal yang diajukan oleh Uni Eropa. Artinya Indonesia kalah dan diwajibkan merevisi aturan / kebijakan dalam negeri yang dinilai melanggar aturan tersebut. Namun, Indonesia berkesempatan untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.
Terlepas dari siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam sengketa tersebut, satu hal yang menarik adalah sudut pandang analisis Teori Sistem Dunia. Dinamika perjalanan kapitalisme telah malang melintang lintas benua hingga membentuk dinding tebal yang kokoh “terlalu kuat untuk dirobohkanâ€. Kapitalisme telah menjelma dalam berbagai bentuk dan berbagai sektor. Menurut Wallerstein, dunia ini disatukan oleh satu sistem, yaitu sistem kapitalisme Global.
Analisis Teori Sistem Dunia

Sengketa Uni Eropa dan Indonesia yang berujung pada gugatan Uni Eropa melalui WTO merupakan satu peristiwa menarik dalam dinamika ekonomi politik internasional. satu perspektif teori ketergantungan menyebutkan bahwa kebijakan dinegara maju akan berdampak pada negara miskin. Sebaliknya, Dalam kasus kebijakan Indonesia, ternyata negara negara maju eropa justeru merasakan dampak secara langsung dari kebijakan indonesia.
Secara Historis, eksploitasi sumberdaya alam negara berkembang oleh negara maju sudah sejak lama terjadi, mulai masa kolonial hingga modern. Hanya saja bentuk dan caranya yang berbeda. Pada masa Kolonial, eksploitasi SDA dilakukan secara langsung dan disertai kekerasan. Sementara pada masa modern, eksploitasi dilakukan secara halus melalui Multinational Corporation. Kehadiran perusahaan asing dalam negara miskin dan mengeksploitasi sumberdaya alamnya.
Negara adidaya ekonomi dapat dengan mudah mengatur agar kepentingan mereka untuk mengendalikan dan mengeksploitasi negara berkembang dapat terlaksana secara “legal†melalui lembaga finansial, lembaga perdagangan dan lainnya. Artinya kelembagaan atas nama internasional pada satu saat akan menjadi representasi kepentingan kapitalisme global.
Proposisi Teori Sistem Dunia
Dunia Merupakan Satu Kesatuan Sistem Global Yang Mencakup Semua Negara Tanpa Terkecuali. Yaitu Sistem Kapitalisme Global
Teori sistem dunia lahir mengiringi dua madzhab teori pembangunan pendahulunya. Teori Modernisasi dan teori Ketergantungan. Teori modernisasi mendapatkan kritik dari teori ketergantungan. Teori modernisasi dinilai menafikan faktor historis dimana negara negara miskin yang merupakan bekas jajahan tidaklah sama secara unilinier dalam proses perkembangannya sebagaimana negara maju. Hubungan negara miskin dan kaya bersifat eksploitatif dan menciptakan ketergantungan. Aktifitas ekonomi, dan kebijakan negara maju akan berdampak langsung pada situasi di negara miskin.
Teori ketergantungan menganalisis hubungan bilateral negara kaya dan negara miskin. Dimana menurut Paul Baran hubungan Ini menyebabkan kretinisme pada negara miskin, akan mengalami stagnasi perkembangan ekonomi. Sementara itu, Dos Santos berpendapat bahwa hubungan ini menyebabkan ketergantungan, baik ketergantungan kolonial, Finansial maupun industrial-teknologikal.
Menurunnya nilai tukar barang produk negara miskin (agraris/pertanian) terhadap barang industri juga menjadi salah satu persoalan yang disoroti oleh Raul Prebish, menurutnya negara miskin harus berani mengambil kebijakan Substitusi Import untuk mengurangi ketergantungannya kepada negara maju. Dilain sisi, ketergantungan menurut Andre Gunder Frank, bukanlah persoalan nilai tukar sebagaimana Prebish utarakan, melainkan karena faktor ekonomi politik, kebijakan negara maju dapat berimplikasi pada situasi dalam negeri negara miskin. Teori ketergantungan ini membagi negara menjadi dua kutub, yaitu negara miskin-kaya atau negara pusat dan pinggiran, atau Negara metropolis dan negara satelit.
Teori sistem dunia hadir dalam rangka mengkritisi pemikiran teori ketergantungan khususnya dalam pembagian kategori negara didunia ini. Menurut teori sistem dunia, terlalu sederhana jika membagi negara negara hanya menjadi 2 kutub. Menurutnya terdapat satu antara yang menjadi penengah antara negara maju dan negara miskin. Teori sistem dunia membagi negara negara menjadi 3 kutub, yaitu Negara pusat, negara semi pinggiran dan negara pinggiran.
Pandangan Wallerstein dalam menjelaskan teori sistem dunia bermula dengan analogi historis. Dimana pada masa lalu dunia terbagi dalam unit unit kecil, unit ini berbentuk kerajaan kerajaan yang berkuasa pada wilayah teritorial masing masing. Pada perkembangannya, terjadi penggabungan oleh satu dominasi kekuatan yang menyatukan baik secara militer maupun cara cara lain. Sehingga tercipta “kerajaan†yang lebih besar yang ruang lingkup kekuasaannya mampu menyatukan dalam satu sistem yang terpusat.
Bagaimana Uni Eropa menjelma sebagai “kerajaan†yang mengusai dan menyatukan negara negara Eropa, bagaimana Nato, PBB, WTO menjadi sumber kekuatan dan kekuasaan yang menyatukan dan mengendalikan negara negara anggotanya. Inilah representasi dari kekuatan global yang menyatukan dunia dalam satu sistem kekuasaan mereka.

Negara Pinggiran
Negara-Negara Yang Memiliki Status Ekonomi Terbelakang, Memiliki  Tingkat  Kemiskinan Cukup Tinggi, Kualitas Sumberdaya  Manusia  Yang  Relatif Rendah, Tata Pemerintahan Dan Kondisi Sosial Yang Buruk. Negara ini Juga Merupakan Pemasok Bahan Mentah Untuk Keperluan Industri, Sekaligus Tempat Pemasaran Produk-Produk Industri Negara Maju. Dalam Mata Rantai Perdagangan Dunia, Negara-Negara Pinggiran Sangat Bergantung Kepada Negara-Negara Maju Dan Terikat Dalam Sistem Global
Negara Semi Pinggiran
Sudah Mampu Mengembangkan Industri yang Cukup Kuat Dan Maju, Yang Ditopang Oleh Aktivitas Perdagangan Dan Keuangan Yang Memadai Serta Institusi-Institusi Ekonomi Yang Mapan, Namun Masih Memiliki Ketergantungan Kepada Negara Maju
Negara Maju
Pusatini Merupakan Aktor Utama Yang Menggerakkan Perubahan-Perubahan Dunia. Pusat Bisnis, Keuangan, Teknologi, Dan Perdagangan Internasional, Yang Mengendalikan Seluruh Rangkaian Denyut Perekonomian Yang Berlandaskan Sistem Kapitalis
Menariknya, menurut teori sistem dunia ini terdapat peluang naik dan turun antara negara Peinggiran, semi Pinggiran dan negara pusat. Artinya, negara pinggiran berpeluang “naik kasta†menjadi negara semi pinggiran, atau bahkan menjadi negara pusat.
Bagaimana suatu negara “naik kasta� Apakah peristiwa global saat ini memperbesar peluang Indonesia untuk “Naik Kasta†menjadi negara Pusat? Situasi negara negara eropa sedang mengalami krisis energi dan ancaman resesi ekonomi. Hal ini disebabkan adanya invasi rusia atas ukraina yang berujung pada embargo dan sanksi ekonomi Amerika, dan negara negara eropa kepada Rusia.
Ironisnya, selama ini negara negara eropa menggantungan kebutuhan sumber energinya kepada Rusia. Karena dunia disatukan oleh sistem, maka meskipun yang berkonflik Rusia – Ukraina, namun secara keseluruhan juga merasakan dampaknya.
Eropa sesungguhnya telah mengalami krisis energi sejak 2020 silam, dimana indonesia mulai menerapkan undang undang minerba terkait pelarangan ekspor biji tambang termasuk Nikel. Uni eropa pada akhirnya menggugat kebijakan Indonesia melalui Organisasi perdagangan Dunia (WTO).
Dalam perspektif Sistem Dunia, campur tangan WTO merupakan sarana kekuatan dominatif yang dimanfaatkan oleh negara negara Pusat untuk memuluskan Tujuannya. Termasuk intervensi pada negara pinggiran / semi pinggiran. Bagaimana tidak, kekalahan Indonesia dalam Panel WTO atas Gugatan Uni Eropa pada kebijakan Hilirisasi nikel Indonesia mewajibkan Indonesia Untuk merevisi kebijakan dalam negerinya yang dinilai merugikan dan melanggar ketentuan WTO.
Namun demikian, pemerintah Indonesia dengan tegas menyatakan Banding dan telah menyiapkan alternatif kebijakan dengan menaikkan pajak ekspor nikel hingga 1000%. Akankah hal ini menjadi indikasi keruntuhan “kerajaan†uni eropa dan mereka harus “turun kasta†menjadi negara semi pinggiran? Dan akankah Indonesia “Naik Kasta†menjadi kekuatan ekonomi baru negara Pusat?
Secara konseptual, Naik atau turunnya “Kasta negara†dalam perspektif teori sistem dunia adalah melalui 3 cara.
- Memanfaatkan Kesempatan Yang Datang. Permasalahan, Stagnasi Negara Core, Mahalnya Komoditas Industri Import Dari Negara Core, Sementara Bahan Baku Di Negara Pinggiran Sangat Murah. Kemudian Negara Pinggiran Berani Mengambil Kebijakan Industrialisasi (Industri Substitusi Import)
- Melalui “Undangan†Negara Core. Negara Maju Berinvestasi Dinegara Pinggiran Dengan Membangun Industri Yang Kemudian Lahirlah Mnc. Negara Pinggiran Berpeluang Naik Menjadi Semi Pinggiran Dan Seterusnya
- Kebijakan Kemandirian Negara. Misalnya Keberanian Melepaskan Diri Dari Eksploitasi Negara Yang Lebih Maju, Keberanian Memutus Mata Rantai Ketergantungan Misalnya Melalui Nasionalisasi Perusahaan
Dilihat dari tiga model diatas, saat ini apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia merepresentasikan keberanian melepaskan diri dari eksploitasi negara maju, upaya hilirisasi nikel Indonesia juga representasi dari kecerdikan dalam memanfaatkan potensi dan memanfaatkan peluang situasi Stagnasi negara pusat (uni eropa).
Selanjutnya kita tunggu, bagaimana hasil banding Indonesia dan perlawanannya melalui kebijakan kenaikan pajak ekspor Nikel hingga 1000%. Bagaimana menurut Anda?