Integrasi Indonesia Quotient dalam kurikulum PAI adalah upaya mengatasi masalah radikalisme dan intoleransi atas nama agama. persoalan ini sesungguhnya bisa saja terjadi pada semua agama di di Indonesia termasuk Agama Islam. sebagai Antisipasi, salah satunya adalah melalui jalur pendidikan. diantara sekian cara, salah satunya adalah dengan Integrasi Indonesia Quotient (IndQ) dalam kurikulum PAI.
Pendahuluan – Identifikasi Masalah

Indonesia adalah bangsa majemuk yang berdiri diatas kaki pluralism dalam ras, suku, etnis dan agama. Secara umum kondisi sosial budaya demikian memiliki permasalahan potensi konflik horizontal yang relative besar. Salah satu problematika yang menguat belakangan ini adalah persoalan intoleransi-radikalisme. Beberapa contoh kasus misalnya persekusi penganut kepercayaan, terorisme atas nama agama dan konflik antar agama. Pertanyaan mendasarnya adalah apa akar masalahnya?.
Merunut permasalahan ini tidaklah sederhana, mengingat aspek sosial budaya bangsa memiliki konteks, isu, tipologi dan kepentingan yang beragam. Dengan demikian, point of view dari persoalan diatas haruslah dipetakan secara parsial one case one analysis. Artikel singkat ini akan mengulas secara spesifik persoalan intoleransi-radikalisme atas nama agama.
Terkait persoalan intoleransi-radikalisme atas nama agama, terdapat beberapa kajian menarik yang menunjukkan bahwa Lembaga Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana eksternaslisi, objectivasi dan internalisasi nilai nilai moderasi, justeru menjadi sarana sekaligus sasaran penyebaran faham radikalisme. Ironi ini dapat kita lihat dari beberapa data.
- Hasil kajian Lembaga Kajian Islan dan Perdamaian (LaKIP) pada 2010 sebanyak 48.9% Siswa Jabodetabek terlibat aksi radikalisme.
- Lembaga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menginformasikan beberapa pondok pesantren mengajarkan radikalisme dan berpotensi santrinya menjadi terorisme (2018)
- Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengemukakan sebanyak 31% mahasiswa bersikap intolerance bahkan pehamanan mahasiswa dinilai rendah terhadap kebhinekaan dan keragaman budaya (Ma`arif, 2019).
- Kemenristek Dikti menyebutkan terdapat 10 Perguruan Tinggi (PT) terpapar radikalisme sejak lama meskipun berbagai upaya untuk menangkal paham tersebut dilakukan namun belum berhasil (Ariefana and Saleh, 2019).
- Azyumardi Azra yang dikutip oleh Khozin menyatakan bahwa mahasiswa Perguruan Tinggi Umum (PTU) lebih mudah terpapar gerakan radikal dan mudah di rekrut daripada mahasiswa perguruan tinggi keagaman Islam.
Dikutip dari pedoman menagkal radikalisme dalam pendidikan Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan Dan Kebudayaan 2018 yang menyajikan hasil survey dari SETARA Institute For Democracy and Peace sebagaimana disajikan dalam diagram berikut:


Analisis akar masalah
Untuk memudahkan dalam identifikasi masalah, analisis akar masalah persoalan ini setidaknya mencakup dua hal. Pertama masalah sosial, kedua masalah pemahaman agama. Meminjam istilah Durkheim dalam memaknai substansi agama, profane dan Sacral. Akar masalah intoleransi-radikalisme atas nama agama dapat dikategorisasi sebagai persoalan motif non agama (Profan) dan motif sakralitas ajaran agama (Sacral).
Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa radikalisme disebabkan adanya kondisi Anomie sebagai akibat dari adanya perasaan asing individu (Estranged), yang disebabkan oleh dehumanisasi dalam ranah kehidupan (Uprooted) ditambah persoalan ekonomi. Perubahan socio-economic ini menyebabkan keterbatasan sumberdaya dalam mendapatkan saluran pemenuhan kebutuhan dan berujung pada tindakan inequilibrium diantaranya intoleransi-radikalisme. Adanya perasaan diskriminatif memunculkan tindakan yang dilegitimasi sebagai bentuk perlawanan. Karena tidak mendapatkan alasan legitimatif dari berbagai aspek, maka kemudian memanfaatkan legitimasi agama sebagai aspek yang dianggap paling bisa diterima.
Sementara itu, jika ditelisik dari perspektif ideologis radikalisme disebabkan oleh persoalan pemahaman nilai agama (Sacral). Beberapa teks agama ditafsirkan sebagai legitimasi kekerasan kepada kelompok / pemeluk agama lain atas dasar membela agama. Memang benar, realitas adanya multi tafsir atas teks agama seringkali menjadi diskursus dalam perdebatan dinamika bergama. Namun kaum radikalis lebih memilih tafsir yang membenarkan kekerasan atas nama agama. Sementara dalam teks yang lain juga banyak yang mengajarkan toleransi kepada kelompok dan pemeluk agama lain. Realita ini merupakan ambivalensi dalam tafsir doktrin agama.
Analisis pemecahan masalah, Integrasi Indonesia Quotient (IndQ) dalam kurikulum PAI

Lalu apa solusi yang ditawarkan? Secara normatif, solusinya adalah moderasi dalam bergama. Namun persoalannya, bagaimana moderasi beragama dapat “membumi” dan terinternalisasi dalam kehidupan bernegara?
Dari berbagai perspektif, manusia mendapatkan pemahaman dan pengetahuan tentang dunia-nya adalah melalui proses sosialisasi. Saluran sosialisasi utama dan efektif adalah melalui keluarga dan pendidikan. Nabi Muhammad bersabda bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Substansinya adalah pendidikan.
Dalam konteks dunia modern, pendidikan direpresentasikan melalui lembaga pendidikan formal yang diatur oleh negara. Dengan demikian, pendidikan adalah cara efektif dalam menanamkan nilai moderasi beragama dalam rangka menangkal paham radikalisme.
Sejauh ini, persoalan radikalisme lekat dan seringkali diidentifikasi dengan agama islam. Oleh karenanya, persoalan ini merupakan tantangan bagi pendidikan yang berbasis agama islam.
Ruh atau Spirit of education dalam ranah akademik adalah desain kurikulum yang kontekstual dan dinamis. Untuk itu, dibutuhkan desain kurikulum integratif yang mampu mencetak profil lulusan yang memiliki kompetensi akademik Plus.
Plus dalam artian memiliki kecerdasan komplek, selain IQ, EQ, SQ dan DQ (Digital Quotient), ada satu kecerdasan yang perlu ditanamkan melalui mekanisme kurikulum pendidikan, yaitu IndQ (Indonesia Quotient). Dalam satu kesempatan Prof Nuh mantan menteri pendidikan menyatakan bahwa urgensi pendidikan indonesia saat ini adalah menanamkan IndQ kecerdasaran dalam memahami ke-Indonesia-an.
IndQ berarti kemampuan seseorang dalam memahami falsafah bangsa indonesia yang plural, majemuk, toleran yang dikemas dalam Bhineka Tunggal Ika. Dengan kesadaran akan kesatuan inilah diharapkan mampu menumbuhkan rasa kebersamaan, semangat persaudaraan sebangsa, atau meminjam istilah dalam agama islam ukhuwah wathoniyah.
Salah satu upaya strategi merujuk pada Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan Dan Kebudayaan 2018 adalah melalui inserting mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan budi pekerti sebagai daya dukung mata pelajaran PPKN. Bagaimana relevansi PAI dengan IndQ?
Inserting PAI bertujuan menanamkan nilai-nilai Islam rahmatan lilalamin yang mengedepankan prinsip-prinsip Islam yang humanis, toleran, demokratis, dan multikultural kepada peserta didik. Hal ini sejalan dengan Prinsip ke-indonesia-an yang dibangun diatas toleransi dan multikulturalisme. Kemampuan dalam memahami humanisme, toleransi, demokratis dan multikulturalisme dan menerapkannya dalam kehidupan bernegara dalam kerangka islam rahmatan lil-alamin inilah objective dari integrasi IndQ dalam kurikulum PAI.
Sementara itu, nilai Moderasi terepresentasi dalam pola berfikir, bertindak, dan berperilaku yang memiliki ciri-ciri tawassuth, tawazun, dan i’tidal melalui pembelajaran.
Berikut desain integratif IndQ dalam kurikulum PAI
Tujuan Pembelajaran : Siswa / mahasiswa memahami substansi moderasi beragama dan menerapkan dalam kehidupan bernegara
Stretegi pembelajran : Problem based learning (PBL) – Opsional
Pengetahuan Umum : Mengacu pada aturan kurikulum nasional
Pengetahuan Khusus : Memahami substansi hakekat Sosial budaya Indonesia (SSBI)
Memahami konsep Manusia Indonesia
Memahami konsep toleransi, multikulturalisme
Memahami konsep islam rahmatan Lil alamin
Memahami akhlak dengan tetangga yang berbeda agama
Memahami konsep kerukunan beragama
Keterampilan umum (KU) : Mengacu pada aturan kurikulum nasional
Keterampilan Khusus : Mampu Menjelaskan hakekat manusia Indonesia
Mampu Memberikan contoh penerapan kerukunan beragama
Mampu memberikan solusi permasalahan intoleransi berdasarkan
konsep toleransi dalam kehidupan bernegara dan nilai islam
rahmatan Lil alamin
Pembelajaran dilakukan dengan menghadirkan suasana kebersamaan dalam perbedaan. Berikut beberapa startegi Problem based learning yang bisa diterapkan.
- Simulasi kelas, misalnya memberikan tugas identifikasi masalah metode brain storming atau Focus discussin group (FGD). Tentukan fasilitator yang terdiri dari dua atau lebih siswa/mahasiswa yang berbeda agama (jika ada, atau bisa didasarkan hal lain dalam kategorisasi perbedaan). Bentuk beberapa kelompok dengan peran yang berbeda (misalnya kelompok satu memerankan pemeluk agama islam, kelompok dua agama kristen, atau bisa juga didasarkan peran sebagai organisasi keagamaan yang berbeda, atau aliran yang berbeda). Tugaskan siswa / mahasiswa untuk simulasi identifikasi masalah dengan metode brainstorming / FGD dalam keberagaman.
- Dinamika kelompok dalam diskusi kelas. dengan membentuk kelompok yang beranggotakan kelompok yang memiliki perbedaan. Misalnya siswa/mahasiswa yang berbeda agama, berbeda pendapat atau pandangan (buatlah narasi soal yang memantik pendapat siswa/mahasiswa, kemudian identifikasi berbagai pendapat – dan kelompokkan siswa yang berbeda pendapat dalam satu kelompok). Berikan satu kasus terkait intoleransi dari kehidupan nyata, bisa dari media online. Tugaskan kelompok untuk menyelesaikan masalah tersebut.
- Nobar film atau video edukatif yang mengandung masalah intoleransi kebangsaan, tugaskan untuk menganalisa dengan fokus problem solving.
- Tugaskan untuk membuat opini dalam rangka menanggapi permasalahan intoleransi yang nyata terjadi
- Tugaskan untuk membuat podcast atau film pendek dengan muatan pendidikan toleransi kehidupan beragama, multikulturalisme.
- Tugaskan untuk posting secara berkala di media sosial mengenai pentingnya kerukunan beragama, atau mencerminkan moderasi beragama dan menghargai keragaman bangsa Indonesia.
Substansi penerapan model diatas adalah pemahaman akan moderasi beragama dan menerapkannya dalam kehidupan bernegara. Moderasi beragama berarti meyakini doktrin mutlak agama dan memberi ruang pada agama yang diyakini orang lain. Hal ini bisa tercapai jika pemahaman agama didasarkan pada prinsip tawassuth, tawazun, dan i’tidal yang bermuara pada islam rahmatan lil alamin (Mapel / MK Pendidikan agama Islam)
Moderasi beragama dapat tercapai dengan baik jika mata pelajaran PAI di integrasikan dengan IndQ sebagai satu kesatuan dalam kurikulum. Berikut model visualny

Impact implementasi solusi
Penerapan model integrasi IndQ dalam kurikulum PAI diharapkan memiliki Impact sebagai berikut:
- Membangun toleransi di antara kelompok peserta didik yang berbeda, baik di luar Islam maupun di dalam Islam;
- Menebarkan Toleransi lingkungan sosialnya (keluarga, teman sepermainan dan masyarakat)
- Mengedepankan dialog antar agama dalam menyelesaikan konflik antar agama
- Menangkal Ujaran kebencian dalam berita hoax
Selain berdampak pada siswa secara langsung, implementasi dari model integrasi diatas juga berdampak bagi masyarakat secara luas. Misalnya melalui metode posting di media sosial konten konten yang mengajarkan toleransi, kerukunan beragama dan kebinekaan.