- Version
- Download 0
- File Size 462.71 KB
- File Count 0
- Create Date November 1, 2021
- Last Updated Maret 5, 2022
Konstruksi Ilmu Takhrij Al Hadits
al-Qur’an al-Karīm dan Hadits atau Sunnah Rasulullah adalah dua sumber primer
dan asasi dalam Islam. Hal ini selain telah menjadi konsensus (ijmÄ’) umat, juga telah
menjadi sebuah keyakinan (i’tiqÄd) yang bulat dan mapan (taken for granted), tidak boleh
diganggu gugat.
Menurut al-‘Utsaimin, seorang yang menjadikan al-Qur’an sebagai dalil, ia hanya
membutuhkan satu perangkat penelitian (nazhar), yaitu penelitian tentang hukum yang
dikandung oleh nash al-Qur’an (al-nazhar fÄ« dalÄlah al-nash ‘alÄ al-hukm), tidak
membutuhkan penelitian terhadap musnad atau transmisi periwayatannya, karena al-Qur’an
diriwayatkan secara mutawatir, lafazh maupun maknanya (lafzhan wa ma’nan). Sedangkan
bagi orang yang ingin menjadikan hadits sebagai dalil, maka ia membutuhkan dua perangkat
penelitian sekaligus, yaitu: Pertama; penelitian tentang orisinilitas dan validitas hadits (alnazhar fÄ« tsubÅ«tihÄ â€˜an al-NabÄ« ); apakah benar berasal dari Rasulullah , karena tidak
setiap hal yang disandarkan kepada beliau adalah benar. Kedua; penelitian tentang
hukum yang dikandung oleh nash hadits.
Untuk itulah, maka penelitian terhadap suatu hadits guna mengetahui tingkat
validitasnya sangat signifikan, agar suatu hadits dapat diketahui apakah ia dapat dijadikan
hujjah atau tidak dalam menetapkan hukum. Ini berarti mengadakan penelitian ulang
terhadap hadits-hadits, terutama dari segi sanadnya yang ditempuh dengan metode takhrīj.
Takhrīj pada prinsipnya adalah upaya meneliti kembali atau mengeluarkan suatu hadits dari
kitab-kitab hadits, untuk menganalisis keadaan sanadnya, baik aspek kesinambungan
transmisi perawi maupun tingkat kredibilitas para perawi. Dengan demikian akan diketahui
tingkat validitas hadits. Begitulah model takhrīj ini –sebagai suatu penelitian ulang–
terhadap hadits-hadits yang sudah terhimpun dalam kitab-kitab hadits memerlukan
kesungguhan dan ketelitian.