Crowd behavior – Peristiwa berkumpulnya sejumlah individu dan berpotensi melakukan tindakan yang tidak dilakukan dalam situasi normal. konsep ini dapat digunakan untuk analisis fenomena atau peristiwa yang muncul sebagai akibat adanya perkumpulan dalam event tertentu yang menyebabkan tindakan tindakan kolektif yang tidak biasa.
Setelah menghadapi masa pandemi yang cukup lama dan bertahan dalam kondisi new normal yang cukup melelahkan, melakukan aktivitas diluar rumah merupakan hal yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang. Mereka menanti adanya kebebasan berkumpul dan merasakan kerinduan pada aktivitas seperti traveling atau wisata, berbelanja, menonton konser dan merayakan pesta serta mempersiapkan tahun baru dengan meriah.
Gelagat tersebut telah dibaca dengan baik oleh industri ekonomi yang mencoba untuk meloloskan diri kekangan resesi dengan menangkap kebutuhan kesehatan mental masyarakat secara umum. Namun terlepas dari itu, orang-orang tetap ingin “waras” dan menikmati waktu setelah pandemi ini berangsur berakhir. Namun siapa sangka, jika pembukaan perheletan pasca new normal yang dinanti-nanti semua orang pada periode 3 bulan ini harus menemui tragedi tragis dengan korban ratusan nyawa yang melayang, dan tragedi yang terjadi di beberapa belahan dunia ini disebabkan oleh satu hal yang sama yakni kerumunan yang tidak kondusif.
Antusiasme masyarakat yang cukup tinggi pasca tahun-tahun isolasi membuat semua orang memutuskan untuk keluar rumah hingga menyebabkan event-event yang diselenggarakan menjadi over capacity. Akibatnya banyak hal-hal buruk yang terjadi seperti aksi saling mendorong, arus yang tidak bisa dikendalikan hingga kerusuhan yang menyebabkan kematian.
Kerumunan yang terjadi beberapa waktu ini, menjadi headline berita-berita internasional karena membawa dampak yang sangat besar yakni hilangnya nyawa banyak orang dan terjadi pada skala yang cukup besar di ruang publik. Pada awal oktober 2022, dinyatakan terdapat 596 korban luka dan 132 orang meninggal dalam tragedi Kanjuruhan dimana seharusnya perhelatan sepak bola menjadi hiburan bagi penggemarnya, justru menjadi neraka yang mengancam nyawa pecintanya.
baca juga: Teori Interaksionisme simbolik herbert blumer
Pada Akhir Oktober terdapat tragedi Itaewon yang menewaskan lebih dari 150 nyawa dan 3000 orang lainnya belum ditemukan (CNN, Minggu (30/10), penyebabnya adalah kerusuhan dan overcapacity yang menjadikan arus kekacauan dan banyak pengunjung meninggal akibat kehabisan nafas, terinjak-injak pengunjung yang lain agar bisa keluar dari kerumunan. Tak sampai disitu, salah satu event music terbesar di Indonesia yakni Berdendang Bergoyang juga mendapatkan masalah serupa yakni overcapacity yang disebabkan oleh kecurangan yang dilakukan salah satu Event Organizer-nya. Kapasitas konser yang seharusnya cukup untuk 3000 orang dijual hingga 29,000 orang. Kelebihan kapasitas tersebut memaksa aparat kepolisian untuk menghentikan konser tersebut agar tidak terjadi hal-hal yang tidal diinginkan.
Kericuhan yang terjadi dalam beberapa tragedi beberapa waktu ini, jika dijelaskan dalam konsep sosiologi akan masuk dalam teori Crowd behavior. Giddens mengatakan bahwa kerumunan merupakan sekumpulan manusia yang berinteraksi satu sama lain di tempat umum. Kerusuhan menjadi hal yang sangat riskan terjadi sebab dalam kondisi tersebut, banyak orang berkumpul dalam jumlah besar dengan sifat sementara yang memberikan reaksi secara bersamaan dalam suatu rangsang. Kondisi ini dalam sosiologi dinamakan sebagai crowd behavior. Dalam kondisi tersebut kerumunan menjadi sebuah hal yang mudah untuk diprovokasikan.

Faktor-faktor penyebab crowd behavior jika dibedah dalam teori Le Bon adalah sebagai berikut :
Anonymitas.
Semakin banyak manusia yang berkumpul dalam sebuah circle, maka semakin asing mereka terhadap sistem dan akan memaksa mereka tunduk pada kondisi yang terjadi. Umumnya, mereka saling mempengaruhi untuk melakukan sesuatu hingga dominitas menjadi penentu apakah seseorang tersebut akan dipengaruhi atau mempengaruhi masa. Anonymitas juga mengikis individualitas yang akhirnya membuat seseorang kehilangan pendirian mereka sehingga terperangkap dalam arus kerumunan.
Contagion atau penularan.
Sosial Contagion adalah kondisi dimana penyebaran perasaan atau suatu sikap yang tidak rasional yang terjadi tanpa disadari individu dan berlangsung sangat cepat. Ekspresi, emosi dan segala hal yang bersikap psikologis dapat menular dengan cepat dikerumunan hingga terkadng muncul sebuah gejala hipnotis yang mempengaruhi kerumunan secara massif.
Suggestibility atau mudah dipengaruhi.
Kerumunan memiliki ciri tidak terstruktur dan tidak memiliki leader yang diikuti secara formal, pikiran yang bercabang dalam kerumunan membuat individu sulit menentukan panutan yang akan diikuti sehingga dalam status quo tersebut individu cenderung tidak bisa berfikir kritis dan lebih mudah menerima saran. Dalam hal ini biasanya kekuatan mempengaruhi sangat dominan namun akan sangat sulit untuk menemukan siapa pelaku yang memulai sebuah gerakan.
Semua ciri yang dijelaskan dalam Le Bone telah secara realistis terjadi pada kasus Kanjuruhan dan Itaweon. Pada awalnya, mereka dipicu oleh perilaku individu yang mempengaruhi lainnya secara kolektif dan menimbulkan crowd (kerumunan) yang tidak bisa dikendalikan.
Dalam hal ini, akan sangat sulit untuk mencari pengendali yang dominan sebab tersamarkan oleh aktivitas kerumunan yang massif dan heterogen. Apalagi, terdapat faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi diantaranya adalah emosi secara personal, kepentingan individu untuk keluar dari kondisi yang terjadi juga militasi yang sifatnya bertolak kearah negative karena efek domino yang tidak kondusif.
Baca Juga: Teori Tindakan Sosial Max Weber
Dalam teori LeBone yang membahas tentang crowd behavior, individu yang berkumpul dalam kerumuman biasanya memiliki konvergensi atau keterpaduan yang menjadi ciri khas dari tiap kerumunan. Misalkan pada tragedi Kanjuruhan, supporter sepak bola memiliki ciri solidaritas yang tinggi dan semangat menggebu-gebu yang mereka bawa ke stadium. Karena ciri yang mereka bawa sangat kental dengan solidaritas dan emosi maka kericuhan yang terjadi juga menyebabkan efek yang tidak jauh dari ciri tersebut.
Dalam konvergensi masyarakat yang merayakan haloween di Itaewon adalah muda-mudi yang melakukan cosplay sehingga mereka identik dengan para pelajar, pemuda yang bersifat energik. Namun misi yang mereka bawa ke dalam pesta haloween tersebut adalah untuk mengekspresikan diri sehingga ketika misi tersebut tidak direalisasikan mereka cenderung menginginkan acara tersebut lekas berakhir dan pulang. Sehingga kericuhan yang muncul cenderung abstrak, senyap namun menelan banyak korban dibandingkan dengan kanjuruhan yang diwarnai dengan kisruh yang saling menyerang. Pada intinya, individulah yang menjadi korban akibat dari ganasnya arus crowd behavior. Untuk mengatasi hal tersebut, alangkah baiknya jika kita lekas menyadari bahaya yang terjadi akibat dari kerumuman dengan mengetahui tanda-tandanya.
Penulis: Erlina Novita